Al Fudhail bin Iyadh: Seorang Pencuri yang Menjadi Ulama Besar
Sebelumnya, saya pernah menceritakan kisah tentang seorang pencuri yang berhasil mengungkap pembunuhan berantai di Yordania.
Kali ini saya akan bercerita tentang seorang pencuri yang berhasil
mengubah hidupnya menjadi ulama besar. Ini adalah sebuah kisah nyata
tentang seorang pencuri ulung yang bernama Al Fudhail bin Iyadh. Semoga
kita dapat mengambil pelajaran dari kisah ini. Berikut kisahnya:
Hidayah merupakan karunia Allah. Dia memberikannya kepda siapa saja
yang dikehendakinya. Termasuk kepada penjahat sekalipun. Imam
adz-Dzahabi pernah menceritakan kisah seorang pencuri yang bertaubat ,
kekmudian dia menjadi seorang ulama. Beliau menceritakan,” Adalah Al
fudhail bin Iyadh dulunya sorang penyamun yang menghadang orang-orang di
daerah antara Abu warda dan Sirjis. Awal mulanya beliau pernah terpikat
seorang wanita. Suatu malalm beliau menyelinap ke rumah wanita
tersebut, ketika beliau memanjat tembok, tiba-tiba saja beliau mendengar
seseorang membaca ayat
“Belum datangkah waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk
tunduk hati mereka guna mengingat Alah serta tunduk kepada kebenaran yang
tleh turun kepada mereka dan janganlah mereka seperti orang-orang yang
sebelumnya telah turun Al Kitab kepadanya, kemudian berlalu masa yang
panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras, dan mayoritas mereka
adalah orang-orang yang fasiq (QS Al Hadid 16)
Tatkala mendengarnya beliau gemetar dan berkata, “ Tentu saja wahai
rabb ku. Sungguh telah tiba saatku (untuk bertaubat). Belliau pun turun
ke reruntuhan bangunan, tempat beliau tinggal. Tiba-tiba saja
sekelompok orang yang lewat. Sebagian mereka berkata, “Kita jalan terus!” dan sebagian yang lain berkata,” Kita jalan terus sampai pagi, karena biasanya Fudhail menghadang kita di jalan ini,” fudhail menceritakan ,”Kemudian
aku merenung dan bergumam.” aku menjalani kemaksiatan-kemaksiatan di
malam hari dan sebagian dari kaum muslimin ketakutan kepadaku, dan
tidaklah Allah menggiringku kepada mereka ini melainkan agar aku
bertaubat kepadaMu dan aku jadikan taubat itu dengan tinggal di Baitul
Haram.
Ayat itulah yang menyadarkan seorang Fudhail bin Iyadh dari
kelalaian yang panjang. Hingga akhirnya beliau menjadi ulama senior di
kalangan tabi’in, sekaligus dikenal sebagi ahli ibadah yang zuhud. Ayat
itu pula yang menyadarkan Malik bin Dinar yang pada gilirannya menjadi
ulama terkemuka di zamannya..
Ayat di atas menjadi teguran yang halus, sekaligus menohok’ terhadap
orang-orang yang telah menyatakan dirinya beriman. Halus, karena
Allah menyentuh dengan sapaan “orang-orang yang beriman.” Bukan dengan
kalilmat “orang-orang yang durhaka”. Menohok karena setiap orang yang
merasa dirinya beriman pasti terhenyak ketika menghayati ayat ini. Ini
menimbulkan kesadaran, betapa tidak layaknya seseorang sebagai orang
beriman, jika hati dan perbuatannya tidak mencerminkan sebagai orang
beriman- Yang terkadang masih menyepelekan dosa-dosa, menomor duakan
perintah Allah dan RasulNya. Ditambah lagi merasa enjoy berlama-lama
dengan kondisi seperti itu.
Rasulullah saw bersabda,
Sesungguhnya seorang mukmin membayangkan dosa-dosanya seperti
duduk di kaki gunung dan ia takut tertimpa olehnya. Sedangkan
seorangyang pendosa menganggap dosanya seperti lalat yang hinggap
dihidungnya lalu dikibasnya (HR Tirmidzi)
.Para sahabat yang demikian taat pun menganggap bahwa ayat ini sebagai teguran untuk mereka. Abdullah bin Mas’ud berkata, Jarak antara keislaman kami dengan teguran Allah pada ayat ini adalah 4 tahun,: sementara Abdullah bin Abbas mengatakan “
Sesungguhnya Allah menganggp lambat hati orang-orang dalam merespon
(ayat-ayatnya) lalu Allah menegur mereka setelah 13 tahun sejak
diturunkannya ayat !” yakni teguran dengan ayat ini.
Jika demikian, tentulah kita lebih layak menjadi obyek dari teguran
Allah dalam ayat ini. Memang kita telah banyak mendengar ayat Allah
dibacakan, juga membaca dan mempelajarinya, alhamdulillah. Namun jujur
kadang hati dan jasad belum juga khusyuk. Hati belum fokus dan konsen
terhadap peringatan dari Allah . Ayat-ayat dan hadits Nabi saw tentang
larangan, sering pula mampir di telinga, ancamannya pun kerap kita baca.
Namun seberapakah efek peringatan itu terhadap hati dan tindakan kita?
Seakan masih menunggu waktu atau masih merasa panjang waktu kita untuk
bersenang-senang dan bersibuk-sibuk dengan dunia. Seolah kita tahu
berapa jatah umur kita hidup di dunia lalu dengan ‘pede’nya
merencanakan untuk menyisihkan waktu saat taubat beberapa saat saja
diujung usia. Alangkah lancangnya kita dengan taqdir Allah. Kita lupa
bahwa angan-angan manuis itu melampui batas ajalnya. Kematian bisa saja
datang sebelum kita menyelesaikan separuh atau bahkan seperempat dari
rencana yang kita buat.
Sementara setan terus menghembuskan bisikan yang memabukkan’ dan berdampak mematikan hati. Bisikan itu adlah ‘taswif
, bujukan utntuk menunda kebaikan dan taubat dengan kalimat beracun,
“nanti !” Setan membisikan kata itu setiap kali tercetus hasrat di hati
untuk bertaubat dan memperbaiki diri. Karena itulah, Ibnul qayyim Al
Jauziyah mengatakan ‘innat taswif min junuudi ibllis’, sesungguhnya taswif (mengatakan nanti untuk kebaikan) adalah satu tentara iblis”.
Membaca ayat di atas mestinya kita tersadar, Allah masih memberi
kesempatan kita untuk bertaubat dan menyuruh kita bersegera kembali
kepadaNya setelah sekian lama teledor dan lalai. Dan kita tidak tahu,
seberapa lama lagi Allah masih memberi kesempatan dan menunggu kita
untuk memperbaiki diri..
Allahuma a inni ala dzikrika wa syukrika wa husni ibadtika… Ya
Allah aku memohon pertolongan Mu untuk bisa mengingatMu dan bersyukur
kepadaMu serta dalam khusyu beribadah kepadaMu
(disadur, AR Risalah Media , Menata Hati menyentuh Ruhani)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar