IBNU TAIMIYAH DAN TAHLILAN
Sebagian facebooker kaum Wahabi menyebarkan isu-isu bahwa kami telah berbohong dalam menyampaikan klaim tentang bacaan Tahlilan yang berkembang sejak masa-masa sebelum generasi Ibnu Taimiyah. Untuk menjernihkan masalah ini, berikut dialognya.
WAHABI: “Anda mengatakan bahwa bacaan Tahlilan telah berkembang sejak abad pertengahan, mana dasarnya?”
SUNNI: “Fenomena bahwa Tahlilan telah berkembang sejak abad pertengahan, diterangkan oleh Syaikh Ibnu Taimiyah dalam fatwanya:
وَسُئِلَ: عَنْ رَجُلٍ يُنْكِرُ عَلَى أَهْلِ الذِّكْرِ يَقُولُ لَهُمْ : هَذَا الذِّكْرُ بِدْعَةٌ وَجَهْرُكُمْ فِي الذِّكْرِ بِدْعَةٌ وَهُمْ يَفْتَتِحُونَ بِالْقُرْآنِ وَيَخْتَتِمُونَ ثُمَّ يَدْعُونَ لِلْمُسْلِمِينَ الْأَحْيَاءِ وَالْأَمْوَاتِ وَيَجْمَعُونَ التَّسْبِيحَ وَالتَّحْمِيدَ وَالتَّهْلِيلَ وَالتَّكْبِيرَ وَالْحَوْقَلَةَ وَيُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم؟" فَأَجَابَ : الِاجْتِمَاعُ لِذِكْرِ اللهِ وَاسْتِمَاعِ كِتَابِهِ وَالدُّعَاءِ عَمَلٌ صَالِحٌ وَهُوَ مِنْ أَفْضَلِ الْقُرُبَاتِ وَالْعِبَادَاتِ فِي الْأَوْقَاتِ فَفِي الصَّحِيحِ عَنْ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ قَالَ : ( إنَّ للهِ مَلَائِكَةً سَيَّاحِينَ فِي الْأَرْضِ فَإِذَا مَرُّوا بِقَوْمِ يَذْكُرُونَ اللهَ تَنَادَوْا هَلُمُّوا إلَى حَاجَتِكُمْ ) وَذَكَرَ الْحَدِيثَ وَفِيهِ ( وَجَدْنَاهُمْ يُسَبِّحُونَك وَيَحْمَدُونَك )... وَأَمَّا مُحَافَظَةُ الْإِنْسَانِ عَلَى أَوْرَادٍ لَهُ مِنْ الصَّلَاةِ أَوْ الْقِرَاءَةِ أَوْ الذِّكْرِ أَوْ الدُّعَاءِ طَرَفَيْ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنْ اللَّيْلِ وَغَيْرُ ذَلِكَ : فَهَذَا سُنَّةُ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِ اللهِ قَدِيمًا وَحَدِيثًا. (مجموع فتاوى ابن تيمية، ٢٢/٥٢٠).
“Ibn Taimiyah ditanya, tentang seseorang yang memprotes ahli dzikir (berjamaah) dengan berkata kepada mereka, “Dzikir kalian ini bid’ah, mengeraskan suara yang kalian lakukan juga bid’ah”. Mereka memulai dan menutup dzikirnya dengan al-Qur’an, lalu mendoakan kaum Muslimin yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Mereka mengumpulkan antara tasbih, tahmid, tahlil, takbir, hauqalah (laa haula wa laa quwwata illaa billaah) dan shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.?” Lalu Ibn Taimiyah menjawab: “Berjamaah dalam berdzikir, mendengarkan al-Qur’an dan berdoa adalah amal shaleh, termasuk qurbah dan ibadah yang paling utama dalam setiap waktu. Dalam Shahih al-Bukhari, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah memiliki banyak Malaikat yang selalu bepergian di muka bumi. Apabila mereka bertemu dengan sekumpulan orang yang berdzikir kepada Allah, maka mereka memanggil, “Silahkan sampaikan hajat kalian”, lanjutan hadits tersebut terdapat redaksi, “Kami menemukan mereka bertasbih dan bertahmid kepada-Mu”… Adapun memelihara rutinitas aurad (bacaan-bacaan wirid) seperti shalat, membaca al-Qur’an, berdzikir atau berdoa, setiap pagi dan sore serta pada sebagian waktu malam dan lain-lain, hal ini merupakan tradisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan hamba-hamba Allah yang saleh, zaman dulu dan sekarang.” (Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, juz 22, hal. 520).
Pernyataan Syaikh Ibn Taimiyah di atas memberikan kesimpulan bahwa dzikir berjamaah dengan komposisi bacaan yang beragam antara ayat al-Qur’an, tasbih, tahmid, tahlil, shalawat dan lain-lain seperti yang terdapat dalam tradisi tahlilan adalah amal shaleh dan termasuk qurbah dan ibadah yang paling utama dalam setiap waktu.
WAHABI: “Maaf, Anda sepertinya membuang sebagian pernyataan Syaikh Ibnu Taimiyah yang tidak Anda sukai dan merubah status hukum yang Anda klaim. Syaikh Ibnu Taimiyah berkata:
وَفِيهِ ( وَجَدْنَاهُمْ يُسَبِّحُونَك وَيَحْمَدُونَك) لَكِنْ يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ هَذَا أَحْيَانًا فِي بَعْضِ الْأَوْقَاتِ وَالْأَمْكِنَةِ فَلَا يُجْعَلُ سُنَّةً رَاتِبَةً يُحَافَظُ عَلَيْهَا إلَّا مَا سَنَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُدَاوَمَةَ عَلَيْهِ فِي الْجَمَاعَاتِ؟ مِنْ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ فِي الْجَمَاعَاتِ وَمِنْ الْجُمُعَاتِ وَالْأَعْيَادِ وَنَحْوِ ذَلِكَ. (مجموع فتاوى ابن تيمية، ٢٢/٥٢٠).
“Dalam hadits tersebut: “Kami menemukan mereka bertasbih dan memuji-Mu”). Akan tetapi seyogianya hal ini dilakukan kadang-kadang dalam sebagian waktu dan tempat, jadi tidak dijadikan sunnah ratibah, yang dijaga oleh seseorang, kecuali apa yang disunnahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk dilakukan secara terus menerus dalam jamaah seperti shalat jamaah dalam shalat lima waktu, shalat jum’at, hari raya dan sesamanya.” (Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa juz 22 hal. 520).
Pernyataan di atas, tidak Anda kutip dalam buku Anda, BUKU PINTAR BERDEBAT DENGAN WAHABI”.
SUNNI: “Maaf, Anda sepertinya kurang teliti membaca buku saya. 1) dalam buku saya, saya katakan bahwa tradisi Tahlilan telah berlangsung sejak sebelum Syaikh Ibnu Taimiyah, sesuai dengan fatwa beliau. Saya tidak mengatakan apakah Ibnu Taimiyah setuju atau tidak terhadap Tahlilan. 2) Syaikh Ibnu Taimiyah tidak melarang melakukan Tahlilan secara rutin. Beliau hanya menganjurkan, agar jangan terlalu rutin saja, yakni melakukan Tahlilan kok rutin seperti menunaikan shalat berjamaah lima waktu. Dalam hal ini, Ibnu Taimiyah tidak mengharamkan atau melarang Tahlilan secara rutin. 3) Anjuran Ibnu Taimiyah tersebut agar Tahlilan tidak terlalu rutin, jelas tidak ada dasarnya. Murni pendapat pribadi Ibnu Taimiyah.”
WAHABI: “Masalahnya Tahlilan belum ada pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.”
SUNNI: “Walaupun Tahlilan belum ada pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Syaikh Ibnu Taimiyah sendiri menganggapnya sebagai amal saleh dalam setiap waktu. Kalau sudah amal saleh, mengapa tidak dirutinkan saja? Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
عن عائشة قالت : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « أحب الأعمال إلى الله أدومها ، وإن قل »
“Aisyah berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Amal (saleh) yang paling dicintai oleh Allah adalah yang dilakukan paling rutin, meskipun sedikit”. (HR. al-Bukhari [6100], Muslim [783], Ahmad [25356], dan al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra [4342]).
Pandangan Ibnu Taimiyah bahwa amal saleh yang tidak ada pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak boleh dirutinkan, jelas tidak berdalil. Dan dalil hadits, justru sebaliknya, menganjurkan dirutinkan. Pandangan tersebut bertentangan dengan rutinitas Imam Ahmad bin Hanbal dan Syaikh Ibnu Taimiyah sendiri. Al-Imam Ahmad bin Hanbal rutin mendoakan gurunya dalam shalat sebagaimana diriwayatkan oleh al-Hafizh al-Baihaqi berikut ini:
قَالَ اْلإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: إِنِّيْ لأَدْعُو اللهَ لِلشَّافِعِيِّ فِيْ صَلاَتِيْ مُنْذُ أَرْبَعِيْنَ سَنَةً، أَقُوْلُ: اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ وَلِوَالِدَيَّ وَلِمُحَمَّدِ بْنِ إِدْرِيْسَ الشَّافِعِيِّ. (الحافظ البيهقي، مناقب الإمام الشافعي، 2/254).
“Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Saya mendoakan al-Imam al-Syafi’i dalam shalat saya selama empat puluh tahun. Saya berdoa, “Ya Allah ampunilah aku, kedua orang tuaku dan Muhammad bin Idris al-Syafi’i.” (Al-Hafizh al-Baihaqi, Manaqib al-Imam al-Syafi’i, 2/254).
Doa seperti itu sudah pasti tidak pernah dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, para sahabat dan tabi’in. Tetapi al-Imam Ahmad bin Hanbal melakukannya selama empat puluh tahun secara rutin.
Sementara Syaikh Ibnu Taimiyah memiliki rutinitas bid’ah hasanah yang tidak kalah gemparnya, dan Wahabi sampai saat ini belum mampu, dan tidak akan mampu menjawabnya sampai hari kiamat, menjawab rutinitas Ibnu Taimiyah yang tidak memiliki dasar Sunnah versi Wahabi. Al-Imam Umar bin Ali al-Bazzar, murid Ibnu Taimiyah, berkata dalam al-A’lam al-‘Aliyyah fi Manaqib Ibn Taimiyah (hal. 37-39):
فَإِذَا فَرَغَ مِنَ الصَّلاةِ أَثْنَى عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ هُوَ وَمَنْ حَضَرَ بِمَا وَرَدَ مِنْ قَوْلِهِ الَلَّهُمَّ اَنْتَ السَّلامُ وَمِنْكَ السَّلامُ تَبَارَكْتَ يَا ذَا الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ ثُمَّ يُقْبِلُ عَلَى الْجَمَاعَةِ ثُمَّ يَأْتِيْ بِالتَّهْلِيْلاَتِ الْوَارِدَاتِ حِيْنَئِذٍ ثُمَّ يُسَبِّح
— bersama Yudhi Al Batawi dan 2 lainnya.Sebagian facebooker kaum Wahabi menyebarkan isu-isu bahwa kami telah berbohong dalam menyampaikan klaim tentang bacaan Tahlilan yang berkembang sejak masa-masa sebelum generasi Ibnu Taimiyah. Untuk menjernihkan masalah ini, berikut dialognya.
WAHABI: “Anda mengatakan bahwa bacaan Tahlilan telah berkembang sejak abad pertengahan, mana dasarnya?”
SUNNI: “Fenomena bahwa Tahlilan telah berkembang sejak abad pertengahan, diterangkan oleh Syaikh Ibnu Taimiyah dalam fatwanya:
وَسُئِلَ: عَنْ رَجُلٍ يُنْكِرُ عَلَى أَهْلِ الذِّكْرِ يَقُولُ لَهُمْ : هَذَا الذِّكْرُ بِدْعَةٌ وَجَهْرُكُمْ فِي الذِّكْرِ بِدْعَةٌ وَهُمْ يَفْتَتِحُونَ بِالْقُرْآنِ وَيَخْتَتِمُونَ ثُمَّ يَدْعُونَ لِلْمُسْلِمِينَ الْأَحْيَاءِ وَالْأَمْوَاتِ وَيَجْمَعُونَ التَّسْبِيحَ وَالتَّحْمِيدَ وَالتَّهْلِيلَ وَالتَّكْبِيرَ وَالْحَوْقَلَةَ وَيُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم؟" فَأَجَابَ : الِاجْتِمَاعُ لِذِكْرِ اللهِ وَاسْتِمَاعِ كِتَابِهِ وَالدُّعَاءِ عَمَلٌ صَالِحٌ وَهُوَ مِنْ أَفْضَلِ الْقُرُبَاتِ وَالْعِبَادَاتِ فِي الْأَوْقَاتِ فَفِي الصَّحِيحِ عَنْ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ قَالَ : ( إنَّ للهِ مَلَائِكَةً سَيَّاحِينَ فِي الْأَرْضِ فَإِذَا مَرُّوا بِقَوْمِ يَذْكُرُونَ اللهَ تَنَادَوْا هَلُمُّوا إلَى حَاجَتِكُمْ ) وَذَكَرَ الْحَدِيثَ وَفِيهِ ( وَجَدْنَاهُمْ يُسَبِّحُونَك وَيَحْمَدُونَك )... وَأَمَّا مُحَافَظَةُ الْإِنْسَانِ عَلَى أَوْرَادٍ لَهُ مِنْ الصَّلَاةِ أَوْ الْقِرَاءَةِ أَوْ الذِّكْرِ أَوْ الدُّعَاءِ طَرَفَيْ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنْ اللَّيْلِ وَغَيْرُ ذَلِكَ : فَهَذَا سُنَّةُ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِ اللهِ قَدِيمًا وَحَدِيثًا. (مجموع فتاوى ابن تيمية، ٢٢/٥٢٠).
“Ibn Taimiyah ditanya, tentang seseorang yang memprotes ahli dzikir (berjamaah) dengan berkata kepada mereka, “Dzikir kalian ini bid’ah, mengeraskan suara yang kalian lakukan juga bid’ah”. Mereka memulai dan menutup dzikirnya dengan al-Qur’an, lalu mendoakan kaum Muslimin yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Mereka mengumpulkan antara tasbih, tahmid, tahlil, takbir, hauqalah (laa haula wa laa quwwata illaa billaah) dan shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.?” Lalu Ibn Taimiyah menjawab: “Berjamaah dalam berdzikir, mendengarkan al-Qur’an dan berdoa adalah amal shaleh, termasuk qurbah dan ibadah yang paling utama dalam setiap waktu. Dalam Shahih al-Bukhari, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah memiliki banyak Malaikat yang selalu bepergian di muka bumi. Apabila mereka bertemu dengan sekumpulan orang yang berdzikir kepada Allah, maka mereka memanggil, “Silahkan sampaikan hajat kalian”, lanjutan hadits tersebut terdapat redaksi, “Kami menemukan mereka bertasbih dan bertahmid kepada-Mu”… Adapun memelihara rutinitas aurad (bacaan-bacaan wirid) seperti shalat, membaca al-Qur’an, berdzikir atau berdoa, setiap pagi dan sore serta pada sebagian waktu malam dan lain-lain, hal ini merupakan tradisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan hamba-hamba Allah yang saleh, zaman dulu dan sekarang.” (Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, juz 22, hal. 520).
Pernyataan Syaikh Ibn Taimiyah di atas memberikan kesimpulan bahwa dzikir berjamaah dengan komposisi bacaan yang beragam antara ayat al-Qur’an, tasbih, tahmid, tahlil, shalawat dan lain-lain seperti yang terdapat dalam tradisi tahlilan adalah amal shaleh dan termasuk qurbah dan ibadah yang paling utama dalam setiap waktu.
WAHABI: “Maaf, Anda sepertinya membuang sebagian pernyataan Syaikh Ibnu Taimiyah yang tidak Anda sukai dan merubah status hukum yang Anda klaim. Syaikh Ibnu Taimiyah berkata:
وَفِيهِ ( وَجَدْنَاهُمْ يُسَبِّحُونَك وَيَحْمَدُونَك) لَكِنْ يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ هَذَا أَحْيَانًا فِي بَعْضِ الْأَوْقَاتِ وَالْأَمْكِنَةِ فَلَا يُجْعَلُ سُنَّةً رَاتِبَةً يُحَافَظُ عَلَيْهَا إلَّا مَا سَنَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُدَاوَمَةَ عَلَيْهِ فِي الْجَمَاعَاتِ؟ مِنْ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ فِي الْجَمَاعَاتِ وَمِنْ الْجُمُعَاتِ وَالْأَعْيَادِ وَنَحْوِ ذَلِكَ. (مجموع فتاوى ابن تيمية، ٢٢/٥٢٠).
“Dalam hadits tersebut: “Kami menemukan mereka bertasbih dan memuji-Mu”). Akan tetapi seyogianya hal ini dilakukan kadang-kadang dalam sebagian waktu dan tempat, jadi tidak dijadikan sunnah ratibah, yang dijaga oleh seseorang, kecuali apa yang disunnahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk dilakukan secara terus menerus dalam jamaah seperti shalat jamaah dalam shalat lima waktu, shalat jum’at, hari raya dan sesamanya.” (Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa juz 22 hal. 520).
Pernyataan di atas, tidak Anda kutip dalam buku Anda, BUKU PINTAR BERDEBAT DENGAN WAHABI”.
SUNNI: “Maaf, Anda sepertinya kurang teliti membaca buku saya. 1) dalam buku saya, saya katakan bahwa tradisi Tahlilan telah berlangsung sejak sebelum Syaikh Ibnu Taimiyah, sesuai dengan fatwa beliau. Saya tidak mengatakan apakah Ibnu Taimiyah setuju atau tidak terhadap Tahlilan. 2) Syaikh Ibnu Taimiyah tidak melarang melakukan Tahlilan secara rutin. Beliau hanya menganjurkan, agar jangan terlalu rutin saja, yakni melakukan Tahlilan kok rutin seperti menunaikan shalat berjamaah lima waktu. Dalam hal ini, Ibnu Taimiyah tidak mengharamkan atau melarang Tahlilan secara rutin. 3) Anjuran Ibnu Taimiyah tersebut agar Tahlilan tidak terlalu rutin, jelas tidak ada dasarnya. Murni pendapat pribadi Ibnu Taimiyah.”
WAHABI: “Masalahnya Tahlilan belum ada pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.”
SUNNI: “Walaupun Tahlilan belum ada pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Syaikh Ibnu Taimiyah sendiri menganggapnya sebagai amal saleh dalam setiap waktu. Kalau sudah amal saleh, mengapa tidak dirutinkan saja? Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
عن عائشة قالت : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « أحب الأعمال إلى الله أدومها ، وإن قل »
“Aisyah berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Amal (saleh) yang paling dicintai oleh Allah adalah yang dilakukan paling rutin, meskipun sedikit”. (HR. al-Bukhari [6100], Muslim [783], Ahmad [25356], dan al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra [4342]).
Pandangan Ibnu Taimiyah bahwa amal saleh yang tidak ada pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak boleh dirutinkan, jelas tidak berdalil. Dan dalil hadits, justru sebaliknya, menganjurkan dirutinkan. Pandangan tersebut bertentangan dengan rutinitas Imam Ahmad bin Hanbal dan Syaikh Ibnu Taimiyah sendiri. Al-Imam Ahmad bin Hanbal rutin mendoakan gurunya dalam shalat sebagaimana diriwayatkan oleh al-Hafizh al-Baihaqi berikut ini:
قَالَ اْلإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: إِنِّيْ لأَدْعُو اللهَ لِلشَّافِعِيِّ فِيْ صَلاَتِيْ مُنْذُ أَرْبَعِيْنَ سَنَةً، أَقُوْلُ: اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ وَلِوَالِدَيَّ وَلِمُحَمَّدِ بْنِ إِدْرِيْسَ الشَّافِعِيِّ. (الحافظ البيهقي، مناقب الإمام الشافعي، 2/254).
“Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Saya mendoakan al-Imam al-Syafi’i dalam shalat saya selama empat puluh tahun. Saya berdoa, “Ya Allah ampunilah aku, kedua orang tuaku dan Muhammad bin Idris al-Syafi’i.” (Al-Hafizh al-Baihaqi, Manaqib al-Imam al-Syafi’i, 2/254).
Doa seperti itu sudah pasti tidak pernah dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, para sahabat dan tabi’in. Tetapi al-Imam Ahmad bin Hanbal melakukannya selama empat puluh tahun secara rutin.
Sementara Syaikh Ibnu Taimiyah memiliki rutinitas bid’ah hasanah yang tidak kalah gemparnya, dan Wahabi sampai saat ini belum mampu, dan tidak akan mampu menjawabnya sampai hari kiamat, menjawab rutinitas Ibnu Taimiyah yang tidak memiliki dasar Sunnah versi Wahabi. Al-Imam Umar bin Ali al-Bazzar, murid Ibnu Taimiyah, berkata dalam al-A’lam al-‘Aliyyah fi Manaqib Ibn Taimiyah (hal. 37-39):
فَإِذَا فَرَغَ مِنَ الصَّلاةِ أَثْنَى عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ هُوَ وَمَنْ حَضَرَ بِمَا وَرَدَ مِنْ قَوْلِهِ الَلَّهُمَّ اَنْتَ السَّلامُ وَمِنْكَ السَّلامُ تَبَارَكْتَ يَا ذَا الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ ثُمَّ يُقْبِلُ عَلَى الْجَمَاعَةِ ثُمَّ يَأْتِيْ بِالتَّهْلِيْلاَتِ الْوَارِدَاتِ حِيْنَئِذٍ ثُمَّ يُسَبِّح
Tidak ada komentar:
Posting Komentar