ISTIGHATSAH DAN KEBODOHAN WAHABI
JAWABAN TERHADAP TULISAN USTADZ WAHABI DI INTERNET YANG BERJUDUL: “Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ternyata Melarang Istighatsah Bag III”.
SETELAH SAYA MENULIS ARTIKEL DI FP INI DENGAN JUDUL “IBNU TAIMIYAH, ULAMA KONTROVERSIAL DALAM BANYAK PERSOALAN”, TULISAN TERSEBUT DITANGGAPI OLEH PENGANUT WAHABI DI WEB MEREKA SAMPAI TIGA KALI. SAYANG SEKALI, TANGGAPAN WAHABI TERSEBUT, HANYA TANGGAPAN SEPOTONG-SEPOTONG, TIDAK TUNTAS. SEHINGGA SECARA TIDAK LANGSUNG USTADZ WAHABI TERSEBUT PADA HAKIKATNYA MENGAKUI KEBENARAN APA YANG KAMI KATAKAN. BERIKUT JAWABAN KAMI TERHADAP TANGGAPAN KETIGA WAHABI YANG ANTI ISTIGHATSAH TERSEBUT.
WAHABI: “Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Sosok yang paling Alim dalam memahami Kitab & Sunnah, dan sosok yang paling konsisten dalam mengikutinya.”
SUNNI: “Pernyataan tersebut termasuk dari bagian pencitraan dan kultus individu.Tidak ada dalil al-Qur’an maupun hadits yang menegaskan secara tersurat maupun tersirat, bahwa Ibnu Taimiyah sosok yang paling alim dalam memahami Kitab dan Sunnah serta paling konsisten mengikutinya. Terbukti, Ustadz Wahabi (Ustadz Firanda maupun Musmulyadi) tidak bisa membela ketika Ibnu Taimiyah kami buktikan kesalahan dan kebatilannya dalam tulisan-tulisan kami. Bahkan para ustadz Wahabi memposisikan Ibnu Taimiyah layaknya seorang imam yang ma’shum, tidak punya salah dan lupa, atau mungkin juga dosa. Dengan demikian, Wahabi hampir sama dengan Syiah dalam hal mengkultuskan para imamnya. Apalagi Muhammad bin Abdul Wahhab yang telah kami buktikan kebohongannya. Ternyata syaikh yang dikultuskan ini, tidak bisa mereka bela.”
WAHABI: Saya: di sini ust. Ramli telah menelan kembali ucapannya sendiri dengan mengatakan "Justru Ibnu Taimiyyah adalah orang yang pertama mengharamkan tawassul dan Istighatsah", padahal sebelumnya dengan samar-samar ia menegaskan bahwa Ibnu Taimiyyah membolehkan Istighatsah. Hadahullah”.
SUNNI: “Pernyataan saya bukan menelan kembali ucapan saya secara samar-samar, tetapi ingin menjelaskan kepada public bahwa Ibnu Taimiyah adalah sosok controversial dalam banyak persoalan. Di sini bilang A, nanti di tempat lain akan bilang B. Ini akibat dari cara belajar Ibnu Taimiyah yang tanpa guru, sehingga ilmunya tidak sistimatis dan sering controversial.”
WAHABI: “3. Istighatsah kepada makhluk pada perkara yang tidak mampu ia lakukan, seperti meminta kesembuhan dengan memanggil nama seorang wali disertai dengan ucapan meminta seperti : wahai wali Allah tolonglah sembuhkan aku. Inilah istihgatsah yang terlarang dan bentuk nyata dari pe-nyekutuan kepada Allah dengan makhluknya, yang tidak satu pun hal ini pernah dilakukan oleh generasi terbaik.”
SUNNI: “Pernyataan di atas membuktikan bahwa Ustadz Wahabi tidak mengerti makna istighatsah. Berikut penjelasannya. Secara bahasa istighatsah bermakna meminta pertolongan. Adakalanya permintaan tolong ini secara langsung kepada Allah, Sang Pencipta. Allah SWT berfirman:
إذ تستغيثون ربكم فاستجاب لكم
“(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu”. (QS. al-Anfal : 9).
Dan adakalanya pertolongan itu diminta kepada orang yang bisa berbuat (kasab/bukan menciptakan) atau bisa menjadi perantara kepada Allah, seperti Nabi SAW dan wali. Dari sini, istighatsah sebenarnya tidak ada bedanya dengan tawasul, tasyaffu’, tawajjuh dan tajawwuh.
Ketika kita beristighatsah dengan Nabi SAW, pada hakikatnya Allah-lah mustaghats bih (yang dimintai tolong) secara hakiki, sedangkan Nabi SAW hanya mustaghats bih secara majazi dengan makna tasabbub (sebagai sebab/sarana/perantara) atau dengan makna kasab/yang berbuat, bukan yang menciptakan. Istighatsah dengan makna demikian tidak diperselisihkan di kalangan ulama sebelum Ibnu Taimiyah. Istighatsah dengan makna yang kami sebutkan tadi tidak diperselisihkan di kalangan salaf dan para ulama dengan bukti-bukti sebagai perikut:
Pertama) Ibnu Taimiyah sendiri ketika disidang oleh para ulama tentang istighatsah, ternyata dia tidak melarang istihgatsah dengan makna di atas, akan tetapi melarang istighatsah dengan makna ibadah. Dalam hal ini al-Hafizh Ibnu Katsir, murid Ibnu Taimiyah kebanggaan kaum Wahabi, dan al-Hafizh Ibnu Rajab bercerita:
في شوال من السنة المذكورة: اجتمع جماعة كثيرة من الصوفية، وشكواه الشيخ إلى الحاكم الشافعي، وعقد له مجلس لكلامه من ابن عربي وغيره، وادعى عليه ابن عطاء بأشياء، ولم يثبت منها شيئاً، لكنه اعترف أنه قال: لا يستغاث بالنبي صلى الله عليه وسلم، استغاثة بمعنى العبادة، ولكن يتوسل به، فبعض الحاضرين قال: ليس في هذا شيء. ورأى الحاكم ابن جماعة: أن هذا إساءة أدب، وعنفه على ذلك، فحضرت رسالة إلى القاضي: أن يعمل معه ما تقتضيه الشريعة في ذلك، فقال القاضي: قد قلت له ما يقال لمثله. ثم إن الدولة خيروه بين أشياء، وهي الإِقامة بدمشق، أو بالإسكندرية، بشروط، أو الحبس، فاختار الحبس
“Pada bulan Syawal tahun tersebut banyak kelompok dari kaum Shufi berkumpul dan mengadukan Ibnu Taimiyah kepada Qadhi (Hakim) bermadzhab al-Syafi’i. Lalu dibuatlah majlis untuk menyidang Ibnu Taimiyah, karena perkataannya tentang Ibnu ‘Arabi dan lainnya. Ibnu ‘Atha’ mendakwanya dengan beberapa persoalan, ternyata tak satupun darinya yang terbukti. Akan tetapi Ibnu Taimiyah mengaku bahwa dia berpendapat, tidak boleh ber-istighatsah dengan Nabi SAW dengan makna beribadah kepada Nabi SAW, akan tetapi boleh beristighatsah dengan makna bertawasul. Maka sebagian orang yang hadir berkata: “Pendapat Ibnu Taimiyah yang ini tidak bisa dituntut. Dan Hakim Ibnu Jama’ah berkata: “Bahwa pernyataan Ibnu Taimiyah tersebut merupakan etika yang buruk kepada Rasulullah SAW,” dan beliau menegurnya atas hal tersebut. Lalu datang surat kepada Qadhi, agar Ibnu Taimiyah ditindak sesuai dengan tuntutan syari’at mengenai etikanya yang buruk itu. Lalu Qadhi berkata: “Aku telah berkata kepadanya, apa yang dikatakan kepada yang sesamanya. Kemudian negara memberinya pilihan, yaitu tinggal di Damaskus, atau di Iskandariyah dengan beberapa syarat, atau masuk penjara. Lalu Ibnu Taimiyah memilih masuk penjara.” (Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, juz 14, hal 51, dan Ibnu Rajab al-Hanbali, al-Dzail ‘ala Thabaqat al-Hanabilah, juz 2 hal. 329).
Dalam fakta sejarah di atas, jelas sekali bahwa di hadapan persidangan para ulama, Ibnu Taimiyah hanya melarang beristighatsah dengan Nabi SAW dalam arti beribadah kepada beliau, bukan dalam arti bertawasul, sebagaimana kami jelaskan. Kemudian meskipun perkataan Ibnu Taimiyah tersebut tidak bisa diajukan sebagai dakwaan, tetapi para ulama menganggapnya sebagai etika yang buruk (su’ul adab) kepada Rasulullah SAW, dan dia harus mendekam di penjara. Tampaknya, dalam persidangan tersebut, Ibnu Taimiyah berusaha mengelak dari pendapatnya dalam kitab-kitabnya yang kemudian diusung oleh kaum Wahabi. Hal ini dilakukan oleh Ibnu Taimiyah, adakalanya karena ia merasa tidak punya hujjah untuk mempertahankannya, atau memang merasa bersalah dengan pendapatnya. Atau ia sadar akan kesalahannya, tetapi masih diikuti oleh kaum Wahabi.
Kedua) beristighatsah dengan orang yang sudah wafat telah berlangsung sejak generasi sahabat, tanpa ada orang yang menganggapnya syirik. Al-Hafizh al-Baihaqi meriwayatkan dalam Syu’ab al-Iman:
أخبرنا أبو عبد الله الحافظ أخبرني أبو محمد بن زياد نا محمد بن إسحاق الثقفي قال : سمعت أبا إسحاق القرشي يقول : كان عندنا رجل بالمدينة إذا رأى منكرا لا يمكنه أن يغيره أتى القبر فقال :
( أَيَا قَبْرَ النَّبِيِّ وَ صَاحِبَيْهِ ... أَلاَ يَا غَوْثَنَا لَوْ تَعْلَمُوْنَا )
“Abu Ishaq al-Qurasyi berkata: “Ada seorang laki-laki di Madinah di dekat kami, apabila melihat kemungkaran yang tidak mungkin ia berantas, maka ia mendatangi makam Nabi SAW lalu berkata:
Wahai makam Nabi SAW dan kedua temannya
Wahai penolong kami seandainya kamu mengetahu”
(Atsar di atas diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman juz 3 hal. 495, terbitan Dar al-Kutub al-Ilmiyah tahqiq Zaghlul, atau juz 6 hal. 60 terbitan Wahabi Maktabah al-Rusyd Riyadh tahqiq Mukhtar al-Nadwi.)
Abu Ishaq al-Qurasyi tersebut adalah maula Abdullah bin al-Harits bin Naufal al-Hasyimi, dan meriwayatkan hadits dari sahabat Abu Hurairah, sebagaimana ditegaskan oleh al-Hafizh al-Mizzi dalam Tahdzib al-Kamal, juz 8 hal. 230.
Syair yang diucapkan oleh Abu Ishaq al-Qurasyi tersebut, adalah Syair nya seorang sahabat Nabi SAW yang agung yaitu Nabighah al-Ja’di. Beliau mengucapkan syair tersebut, setelah dipukul oleh Sayyidina Abu Musa al-Asy’ari beberapa cambuk, sebagaimana disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Abdil Barr dalam al-Isti’ab, juz 3 hal. 586 (hamisy al-Ishabah).
Dalam syair di atas, sahabat Nabi SAW tersebut sangat jelas memanggil Nabi SAW dan kedua sahabatnya dengan redaksi ya ghautsana, wahai penolong kami, dan tidak satu pun dari para sahabat, tabi’in dan ahli hadits yang mendengar riwayat tersebut, menganggapnya syirik dan kafir. Bahkan kemudian al-Baihaqi menganjurkan membaca syair tersebut bagi orang yang ada di Madinah dan tidak mampu memberantas kemungkaran yang dilihatnya, sebagaimana ditegaskan oleh al-Hafizh al-Sakhawi dalam al-Ibtihaj bi-Adzkar al-Musafir wa al-Haj, hal. 138.
Ketiga) Tiga orang hafizh dan imam ahli hadits terkemuka pada masanya yaitu al-Hafizh Abu al-Qasim al-Thabarani (260-360 H/874-971 M) pengarang al-Mu’jam al-Kabir, al-Mu’jam al-Ausath, al-Mu’jam al-Shaghir dan lain-lain, al-Hafizh Abu al-Syaikh al-Ashbihani (274-369 H/897-979 M) pengarang Kitab al-Tsawab dan al-Hafizh Abu Bakar bin al-Muqri’ al-Ashbihani (273-381 H/896-991 M) melakukan istighatsah dengan Rasulullah SAW dalam kisah berikut:
قَالَ اْلإِمَامُ أَبُوْ بَكْرٍ بْنِ الْمُقْرِئِ: كُنْتُ أَنَا وَالطَّبَرَانِيُّ وَأَبُو الشَّيْخِ فِيْ حَرَمِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، وَكُنَّا عَلَى حَالَةٍ وَأَثَّرَ فِيْنَا الْجُوْعُ وَوَاصَلْنَا ذَلِكَ الْيَوْمَ، فَلَمَّا كَانَ وَقْتُ الْعِشَاءِ حَضَرْتُ قَبْرَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ الْجُوْعَ الْجُوْعَ، وَانْصَرَفْتُ. فَقَالَ لِيْ أَبُو الْقَاسِمِ: اِجْلِسْ إِمَّا أَنْ يَكُوْنَ الرِّزْقُ أَوْ الْمَوْتُ، قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ: فَنِمْتُ أَنَا وَأَبُو الشَّيْخِ وَالطَّبَرَانِيُّ جَالِسٌ يَنْظُرُ فِيْ شَيْءٍ فَحَضَرَ فِي الْبَابِ عَلَوِيٌّ فَدَقَّ فَفَتَحْنَا لَهُ فَإِذًا مَعَهُ غُلاَمَانِ مَعَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا زَنْبِيْلٌ فِيْ شَيْءٍ كَثِيْرٍ، فَجَلَسْنَا وَأَكَلْنَا، قَالَ الْعَلَوِيُّ: يَا قَوْمُ أَشَكَوْتُمْ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَإِنِّيْ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي الْمَنَامِ فَأَمَرَنِيْ أَنْ أَحْمِلَ بِشَيْءٍ إِلَيْكُمْ. رواه الحافظ ابن الجوزي في الوفا بأحوال المصطفى (ص/818)، والحافظ الذهبي في تذكرة الحفاظ (3/973) وتاريخ الإسلام (ص/2808).
“Al-Imam Abu Bakar bin al-Muqri’ berkata: “Saya berada di Madinah bersama al-Hafizh al-Thabarani dan al-Hafizh Abu al-Syaikh. Kami dalam kondisi prihatin dan sangat lapar, selama satu hari satu malam belum makan. Setelah waktu isya’ tiba, saya mendatangi makam Rasulullah SAW. Lalu saya berkata: “Ya Rasulullah, kami lapar, kami lapar (tolonglah kami)”. Dan saya segera pulang. Lalu al-Hafizh Abu al-Qasim al-Thabarani bertaka: “Duduklah, kita tunggu datangnya rezeki atau kematian”. Abu Bakar berkata: “Lalu aku dan Abu al-Syaikh tidur. Sedangkan al-Thabarani duduk sambil melihat sesuatu. Tiba-tiba datanglah laki-laki ‘Alawi (keturunan Nabi SAW) dan mengetuk pintu. Kami membukakan pintu untuknya. Ternyata ia bersama dua orang budaknya yang masing-masing membawa keranjang penuh dengan makanan. Lalu kami duduk dan makan bersama. Lalu laki-laki ‘Alawi itu berkata; “Hai kaum, apakah kalian mengadu kepada Rasulullah SAW? Aku bermimpi Rasulullah SAW dan menyuruhku membawakan makanan untuk kalian”.
Kisah ini diriwayatkan oleh al-Hafizh Ibn al-Jauzi (508-597 H/1114-1201 M) dalam al-Wafa bi-Ahwal al-Mushthafa (hal. 818), al-Hafizh al-Dzahabi dalam Tadzkirat al-Huffazh (3/973), dalam Tarikh al-Islam (hal. 2808) dan disebutkan oleh Syaikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani dalam Hujjatullah ‘ala al-‘Alamin (hal. 805).
Dalam kisah di atas, jelas sekali al-Imam al-Hafizh Ibnu al-Muqri’ al-Ashbihani tersebut, dengan sepengetahuan kedua rekannya al-Imam al-Thabarani dal al-Imam Abu al-Syaikh, ber-istighatsah dengan Nabi SAW ketika kelaparan. Dan tidak satupun dari ulama yang menilai ketiga imam tersebut telah syirik, kafir dan murtad, sebagaimana dalam keyakinan kaum Wahabi dewasa ini. Sudah pasti, dalam pandangan Wahabi, ketiga Imam hadits di atas, dan para ulama yang membenarkan mereka seperti Ibnu al-Jauzi, al-Dzahabi dan lain-lain, akan dicap sebagai Quburiyyun, penyembah kuburan. Tentu karena pandangan Wahabi yang salah dan batil, sebagai akibat taklid buta kepada Muhammad bin Abdul Wahhab yang telah kami buktikan kebohongannya, dan belum dijawab oleh para ustadz Wahabi.
Keempat) Al-Imam Abu al-Khair al-Aqtha’ al-Tinati (229-349 H/769-961 M), seorang ulama shufi terkemuka dan murid al-Imam Abu Abdillah bin al-Jalla’, melakukan istighatsah dengan Rasulullah SAW:
قَالَ أَبُو الْخَيْر اْلأَقْطَعُ: دَخَلْتُ مَدِيْنَةَ الرَّسُوْلِ صلى الله عليه وسلم وَأَنَا بِفَاقَةٍ فَأَقَمْتُ خَمْسَةَ أَيَّامٍ مَا ذُقْتُ ذَوْقًا فَتَقَدَّمْتُ إِلَى الْقَبْرِ فَسَلَّمْتُ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَقُلْتُ أَنَا ضَيْفُكَ اللَّيْلَةَ يَا رَسُوْلَ اللهِ وَتَنَحَّيْتُ فَنِمْتُ خَلْفَ الْمِنْبَرِ فَرَأَيْتُ فِي النَّوْمِ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم وَقَبَّلْتُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ فَدَفَعَ إِلَيَّ رَغِيْفًا فَأَكَلْتُ نِصْفَهُ وَانْتَبَهْتُ وَإِذًا فِي يَدِيْ نِصْفُ رَغِيْفٍ، رواه الإمام الحافظ السلمي في طبقات الصوفية (ص/382) والحافظ ابن الجوزي في صفة الصفوة (4/284) والحافظ ابن عساكر في تاريخ دمشق (66/161)، والحافظ الذهبي في تاريخ الإسلام (2632)، والحافظ السخاوي في القول البديع (ص/160) والعارف الشعراني في الطبقات الكبرى (1/109).
“Abu al-Khair al-Aqtha’ berkata: “Saya mendatangi makam Rasulullah J dalam keadaan sangat lapar. Lalu saya berkata: “Aku bertamu kepadamu wahai Rasulullah”. Lalu aku agak menjauh dan tidur di belakang mimbar. Dalam tidur aku bermimpi bertemu Rasulullah J, lalu aku cium antara kedua mata beliau dan beliau memberiku sepotong roti. Lalu aku makan roti itu separuh. Lalu aku terbangun, dan ternyata di tanganku tersisa separuh roti itu”.
Kisah ini diriwayatkan oleh al-Imam al-Hafizh al-Sulami dalam Thabaqat al-Shufiyyah (hal. 382), al-Hafizh Ibn al-Jauzi dalam Shifat al-Shafawah (4/283), al-Hafizh Ibn ’Asakir dalam Tarikh Dimasyq (66/161), al-Hafizh al-Dzahabi dalam Tarikh al-Islam (hal. 2632), al-Hafizh al-Sakhawi dalam al-Qaul al-Badi’ (hal. 160), al-Sya’rani dalam al-Thabaqat al-Kubra (1/109) dan lain-lain.
Dalam kisah di atas, jelas sekali, al-Imam al-‘Arif al-Shufi Abu al-Khair al-Aqtha’, ber-istighatsah dengan Nabi SAW karena lima hari tidak menyicipi makanan. Seandainya ber-istighatsah dengan Nabi SAW termasuk syirik dan kafir, sudah barang tentu, Abu al-Khair al-Aqtha’ tidak akan dikutip biografinya oleh para ulama seperti al-Sulami, Ibnu Asakir, Ibnu al-Jauzi, al-Dzahabi dan lain-lain. Buat apa mengutip biografi orang musyrik dan kafir.
Tiga kisah di atas, plus pengakuan Ibnu Taimiyah sebelumnya, cukup membuktikan bahwa istighatsah dengan makhluq yang dekat kepada Allah, tidak dilarang, dan bahkan diamalkan oleh kaum Salaf sejak masa sahabat dan ahli hadits.”
WAHABI: “Adapun tawassul: adalah berdoa kepada Allah dengan menyebut nama seorang yang memiliki kemuliaan di sisi Allah dengan harapan bahwa penyebutan nama orang tersebut dapat memudahkan terkabulnya doa, inilah perbedaan antara Istigatsah dan tawassul. Adapun anggapan Istighatsah bukan meminta tolong kepada makhluq, maka saya belum mendapatkan seorang pun dari kalangan ulama - yang membolehkan istighatsah -mengatakan hal tersebut”.
SUNNI: “Tidak ada bedanya antara tawasul dan istighatsah, sebagaimana telah dipaparkan oleh para ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Kedua-duanya sama-sama berdoa kepada Allah, melalui perantara, amal shaleh atau orang shaleh yang masih hidup maupun sudah wafat. Sedangkan pernyataan Ustadz Musmulyadi bahwa ia tidak menemukan seorang ulama pun yang membolehkan istighatsah, itu karena Anda tidak pernah membaca kitab para ulama yang mu’tabar, akan tetapi hanya bertaklid buta kepada Muhammad bin Abdul Wahhab, yang telah kami buktikan kebohongannya.”
WAHABI: “Ibnu Taimiyah meriwayatkan Atsar Ibnu Umar itu dalam kitab Al-Kalimut thoyyib di bawah sebuah pasal yang berbunyi: "pasal tentang kaki apa bila mati rasa" dari pemberian pasal ini saja dapat dipahami bahwa beliau tidak ada tujuan menganjurkan istighatsah dengan menukil Atsar Ibnu Umar, dan hal ini juga yang dilakukan oleh imam nawawi ketika menyebutkan Atsar tersebut dalam Al-Adzkar, Imam nawawi berkata: "Bab apa yang akan diucapkannya jika kakinya mati rasa.”
SUNNI: “Ustadz Musmulyadi perlu mengerti makna al-Kalim al-Thayyib, kalimat-kalimat atau dzikir yang baik, artinya atsar dari Ibnu Umar tersebut termasuk dzikir, bukan seperti memanggil artis pujaan yang tidak agamis itu. Coba Anda baca kitab al-Kalim al-Thayyib dari mukaddimah, semuanya membicarakan tentang dzikir kepada Allah. Sedangkan kitab al-Azkar karya al-Imam al-Nawawi, sangat jelas mendukung bahwa atsar Ibnu Umar ketika mati rasa, lalu berkata “Wahai Muhammad”, adalah bermakna dzikir, bukan bermakna jampi-jampi seperti yang diucapkan seorang dukun yang dikafirkan oleh kaum Wahabi. Kitab Adzkar itu bukan kitab dukun atau ilmu kedokteran, akan tetapi dari namanya, sangat jelas, bahwa itu kitab yang berisi dzikir, doa dan wiridan kepada Allah. Sedangkan kutipan syair sesudahnya, itu bukan berarti bahwa dzikir itu kehilangan substansinya karena terbukti secara medis, akan tetapi justru memperkuat pandangan bahwa istighatsah itu dibenarkan secara medis. Anda harus faham, bahwa dalil-dalil syar’i tidak bisa dikooptasi oleh penemuan medis, akan tetapi sebaliknya, penemuan medis, harus diikutkan kepada dalil-dalil syar’i.”
Selanjutnya, Ustadz Musmulyadi mengomentari panjang lebar, hadits al-Bukhari tentang istighatsah, dan tidak perlu kami tanggapi, karena ia tidak mengomentari bahwa Ibnu Taimiyah berdalil dengan hadits dha’if dalam kitabnya Qa’idah Jalilah, dalam rangkan melarang istighatsah versi Wahabi. Hal ini agaknya membuktikan bahwa Ustadz Musmulyadi mengakui bahwa Syaikhu-Islam nya berdalil dengan hadits dha’if.
WAHABI: "Abdul Malik bin Sa’id bin Abjar adalah Ulama yang hidup pada masa Shigharuttabi'in dan beliau di sebutkan oleh Imam Ibnu Hibban dalam kitabnya Al—Tsiqaat. dalam Kisah tersebut ada seorang lelaki yang mendatangi beliau namun sayang lelaki ini tidak diketahui keberadaan dan kredibilatasnya dalam Jarh dan Ta'dil, disamping juga dia bukan seorang Shahabat, lalu bagimana kita akan mengambil hujjah dari seorang lelaki yang belum jelas!!? Oleh sebab itulah kisah ini menjadi cacat dan tidak bisa di jadikan Hujjah layaknya kisah-kisah yang terbangun dari mimpi. Jika demikian adanya maka gugurlah berdalil dengannya. Wallahu A'lam".
SUNNI: “Hujjah dari kisah tersebut sangat jelas, karena Imam Ibnu Abjar sendiri membenarkan doa laki-laki tersebut. Demikian pula al-Imam Ibnu Abi al-Dunya, yang meriwayatkannya dalam kitabnya Mujabi al-Da’wah hal. 85, dan Ibnu Taimiyah yang mengutipnya dalam Qa’idah Jalilah, membenarkan dan tidak mensyirikkan doa tersebut. Jadi kesimpulan kami bukan terbangun dari mimpi, sebagaimana mimpi Ustadz Firanda sebelumnya.”
WAHABI: “Ust. Ramli berkata: Dalam redaksi doa ulama Salaf tersebut, sangat jelas ada kalimat memanggil nama Nabi SAW, padahal Nabi SAW sudah wafat lebih dua ratus tahun? Bukankah ini namanya istighatsah???”
Saya (WAHABI): ini bukan istighatsah, yaitu meminta kepada Rasulullah yang telah wafat dua ratus tahun lalu, namun ini adalah hanya sebuah Nida' biasa, sebab di awal doa, lelaki tersebut hanya berdoa kepada Allah semata, inilah terjemah dari doa tersebut:
"ya Allah sesungguhnya aku menghadap kepadamu dengan Nabimu Muhammad, yang adalah sebagai nabi Rahmah- Shallallahu 'Alaihi Wasallam- , wahai muhammad sesunguhnya aku menghadap denganmu kepada Rabbmu dan Rabbku agar ia (Allah) mengasihani diriku dari penyakit yang ada padaku."
Kata "wahai muhammad" di sini sudah jelas bukan meminta tolong namun hanya sekedar memanggil biasa seperti yang telah kami paparkan sebelumnya pada Atsar Ibnu Umar.”
SUNNI: “Tidak ada bedanya antara istighatsah dan tawasul, sebagaimana dalam pengkuan Ibnu Taimiyah di atas ketika disidang di pengadilan. Hal tersebut sebagaimana dikutip oleh Ibnu Katsir, murid Ibnu Taimiyah kebanggaan kaum Wahabi, dan Ibnu Rajab.
Sedangkan pernyataan Ustadz Musmulyadi: “"ya Allah sesungguhnya aku menghadap kepadamu dengan Nabimu Muhammad, yang adalah sebagai nabi Rahmah- Shallallahu 'Alaihi Wasallam- , wahai muhammad sesunguhnya aku menghadap denganmu kepada Rabbmu dan Rabbku agar ia (Allah) mengasihani diriku dari penyakit yang ada padaku."
Kata "wahai muhammad" di sini sudah jelas bukan meminta tolong namun hanya sekedar memanggil biasa seperti yang telah kami paparkan sebelumnya pada Atsar Ibnu Umar.”
SUNNI: “Pernyataan sangat lucu. Tadi dia bilang, bahwa pernyataan Ibnu Umar ketika mati rasa, itu ucapan orang yang memanggil kekasihnya, bukan berdzikir kepada Allah, sebagaimana dipraktekkan orang-orang Jahiliyah sebelumnya. Di sini, ia menyamakan atsar Ibnu Umar tersebut, dengan atsar dari Ibnu Abjar, yang bukan mati rasa, dan panggilannya didahului dengan doa kepada Allah dan tawasul dengan Nabi SAW yang sudah wafat, yang disyirikkan oleh Wahabi. Semoga Ustadz Musmulyadi tidak sedang bermimpi. Apabila atsar Ibnu Umar sama dengan atsar Ibnu Abjar, berarti kedua-duanya sama-sama tawasul dan istighatsah, bukan yang lain.”
WAHABI: “Kemudian sisa dari tulisan Ustadz berikutnya tidak saya tanggapi karena isinya tidak lebih dari perendahan dan meremehkan ulama, seperti Ibnu Taimiyyah”.
SUNNI: “Harusnya Anda membuktikan bahwa Ibnu Taimiyah tidak berbohong dalam pernyataannya. Dan saya telah menulis beberapa bukti kebohongan Ibnu Taimiyah dan Ibnu Abdil Wahhab an-Najdi, tetapi Anda tidak bisa membelanya. Atau akui saja, bahwa beliau berdua memang salah dan keliru. Lalu mintakan ampun kepada Allah atas kealpaan beliau berdua, bukan mengalihkan persoalan ke masalah lain.”
WAHABI: “Janganlah kalian mencela yang telah wafat, sesungguhnya mereka telah mendapatkan apa yang telah mereka perbuat, terlebih jika orang tersebut adalah seorang Ulama yang telah menghabiskan umurnya demi agama, tidaklah layak bagi siapapun merendahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah pada hari ini, siapa pun orangnya”.
SUNNI: “Kami tidak membahas Ibnu Taimiyah secara pribadi. Akan tetapi kami membahas pendapatnya yang tidak sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW, dan membuat-buat gosip bohong atas nama kaum salaf.”
WAHABI: “andai saja kita mau bersikap adil maka cukuplah keberadaan imam Ibnu Katsir Rahimahullah sebagai bukti akan kemuliaan Ibnu taimiyyah, bagaimana tidak demikian, Ibnu Katsir adalah Murid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.”
SUNNI: “Anda terlalu melebih-lebihkan hubungan Ibnu Katsir, dengan Ibnu Taimiyah, seakan-akan Ibnu Katsir hanya berguru kepada Ibnu Taimiyah saja. Ibnu Katsir menjadi orang yang sangat alim dan diakui, justru karena gurunya bukan hanya Ibnu Taimiyah. Silahkan Anda baca biografinya di kitab-kitab thabaqat dan tarajim. Dan ini hadiah dari Ibnu Katsir kepada kalian wahai kaum Wahabi yang anti istighatsah. Beliau justru menganjurkan istighatsah dan menentang pendapat Ibnu Taimiyah, gurunya, yang batil itu. Beliau berkata dalam Tarikhnya al-Bidayah wa al-Nihayah dan kitabnya Jami’ al-Masanid:
عَنْ مَالِكٍ الدَّارِ، قَالَ : وَكَانَ خَازِنَ عُمَرَ عَلَى الطَّعَامِ، قَالَ : أَصَابَ النَّاسَ قَحْطٌ فِيْ زَمَنِ عُمَرَ، فَجَاءَ رَجُلٌ إِلَى قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ اِسْتَسْقِ ِلأُمَّتِكَ فَإِنَّهُمْ قَدْ هَلَكُوْا، فَأَتَى الرَّجُلَ فِي الْمَنَامِ فَقِيْلَ لَهُ : ائْتِ عُمَرَ فَأَقْرِئْهُ السَّلاَمَ وَأَخْبِرْهُ أَنَّكُمْ مَسْقِيُّوْنَ، وَقُلْ لَهُ : عَلَيْكَ الْكَيْسَ، عَلَيْكَ الْكَيْسَ، فَأَتَى عُمَرَ فَأَخْبَرَهُ فَبَكَى عُمَرُ ثُمَّ قَالَ: يَا رَبِّ لاَ آلُوْ إِلاَّ مَا عَجَزْتُ عَنْهُ. رواه ابن أبي شيبة في المصنف (12/31-32)، و ابن أبي خيثمة كما في الإصابة (3/484)، والبيهقي في دلائل النبوة (7/447) والخليلي في الإرشاد (1/313-314) ، وابن عبد البر في الاستيعاب (2/464)، وإسناده صحيح، وقد صححه الحافظ ابن كثير في البداية والنهاية (7/101) ، وصححه الحافظ ابن حجر في فتح الباري (2/495). وقال ابن كثير في جامع المسانيد – مسند عمر – (1/223) : إسناده جيد قوي. وأقر ابن تيمية بثبوته في اقتضاء الصراط المستقيم (ص/373) .
“Diriwayatkan dari Malik al-Dar, bendahara pangan Khalifah Umar bin al-Khaththab, bahwa musim paceklik melanda kaum Muslimin pada masa Khalifah Umar. Maka seorang sahabat (yaitu Bilal bin al-Harits al-Muzani) mendatangi makam Rasulullah SAW dan mengatakan: “Hai Rasulullah, mohonkanlah hujan kepada Allah untuk umatmu karena sungguh mereka benar-benar telah binasa”. Kemudian orang ini bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW dan beliau berkata kepadanya: “Sampaikan salamku kepada Umar dan beritahukan bahwa hujan akan turun untuk mereka, dan katakan kepadanya “bersungguh-sungguhlah melayani umat”. Kemudian sahabat tersebut datang kepada Umar dan memberitahukan apa yang dilakukannya dan mimpi yang dialaminya. Lalu Umar menangis dan mengatakan: “Ya Allah, saya akan kerahkan semua upayaku kecuali yang aku tidak mampu”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (12/31-32), Ibn Abi Khaitsamah sebagaimana dalam al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah (3/484), al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwwah (7/47), al-Khalili dalam al-Irsyad (1/313-314) dan al-Hafizh Ibn Abdilbarr dalam al-Isti’ab (2/464). Sanad hadits ini dinilai shahih oleh al-Hafizh Ibn Katsir dalam al-Bidayah wa al-Nihayah (7/101) dan al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari (2/495). Al-Hafizh Ibn Katsir juga mengatakan dalam kitabnya yang lain, Jami’ al-Masanid di bagian Musnad Umar bin al-Khaththab (1/223) bahwa sanad hadits ini jayyid dan kuat. Menurut al-Hafizh Ibn Hajar, yang dimaksud laki-laki yang mendatangi makam Nabi SAW dan melakukan tawassul dalam hadits ini adalah sahabat Bilal bin al-Harits al-Muzani RA.
Hadits ini menunjukkan dibolehkannya ber-tawassul dengan para nabi dan wali yang sudah meninggal dengan redaksi nida’ (memanggil) yaitu “Ya Rasulallah”. Ketika Bilal bin al-Harits al-Muzani mengatakan “istasqi liummatik”, maka maknanya ialah “Mohonkanlah hujan kepada Allah untuk umatmu”, bukan ciptakanlah hujan untuk umatmu.
Ibnu Katsir –yang dikagumi oleh kaum Wahhabi– juga berkata dalam tafsirnya:
يُرْشِدُ تَعَالَى الْعُصَاةَ وَالْمُذْنِبِيْنَ إِذَا وَقَعَ مِنْهُمُ الْخَطَأُ وَالْعِصْيَانُ أَنْ يَأْتُوْا إِلَى الرَّسُوْلِ صلى الله عليه وسلم فَيَسْتَغْفِرُوْا اللهَ عِنْدَهُ وَيَسْأَلُوْهُ أَنْ يَسْتَغْفِرَ لَهُمْ فَإِنَّهُمْ إِذَا فَعَلُوْا ذَلكَ تَابَ اللهُ عَلَيْهِمْ وَرَحِمَهُمْ وَغَفَرَ لَهُمْ . . . وَقَدْ ذَكَرَ جَمَاعَةٌ مِنْهُمْ الشَّيْخُ أَبُوْ نَصْرٍ بْنِ الصَّبَّاغِ فِيْ كِتَابِهِ الشَّامِلِ الْحِكَايَةَ الْمَشْهُوْرَةَ عَنِ الْعُتْبِيِّ قَالَ : كُنْتُ جَالِسًا عِنْدَ قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَجَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَقَالَ: السَّلامُ عَلَيْكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ سَمِعْتُ اللهَ يَقُوْلُ (وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوْا أَنْفُسَهُمْ جَاؤُوْكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُوْلُ لَوَجَدُوا اللهَ تَوَّاباً رَحِيْماً) وَقَدْ جِئْتُكَ مُسْتَغْفِرًا لِذَنْبِيْ مُسْتَشْفِعًا بِكَ إِلَى رَبِّيْ ثُمَّ أَنْشَأَ يَقُوْلُ:
يَا خَيْرَ مَنْ دُفِنَتْ بِالْقَاعِ أَعْظُمُهُ ... فَطَابَ مِنْ طِيْبِهِنَّ الْقَاعُ وَاْلأَكَمُ
نَفْسِي الْفِدَاءُ لِقَبْرٍ أَنْتَ سَـاكِنُهُ ... فِيْهِ الْعَـفَافُ وَفِيْهِ الْجُوْدُ وَالْكَرَمُ
ثُمَّ انْصَرَفَ اْلأَعْرَابِيُّ فَغَلَبَتْنِيْ عَيْنِيْ فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فِي النَّوْمِ فَقَالَ يَا عُتْبِيُّ اِلْحَقِ اْلأَعْرَابِيَّ فَبَشِّرْهُ أَنَّ اللهَ قَدْ غَفَرَ لَهُ انتهى، ذكره الحافظ ابن كثير في تفسيره (1/492) والحافظ النووي في الإيضاح (ص/498)، والإمام ابن قدامة المقدسي الحنبلي في المغني (3/556)، وأبو الفرج ابن قدامة في الشرح الكبير (3/495)، والشيخ منصور البهوتي الحنبلي في كشاف القناع (5/30).
“Allah SWT memberikan petunjuk kepada orang-orang yang berbuat maksiat dan berbuat dosa, apabila di antara mereka melakukan kesalahan dan kemaksiatan supaya mendatangi Rasulullah SAW, meminta ampun kepada Allah di sisinya dan memohon kepada beliau agar memohonkan ampun untuk mereka, karena apabila mereka melakukan hal itu, maka Allah akan mengabulkan taubatnya, mengasihinya dan mengampuninya. Banyak ulama menyebutkan seperti al-Imam Abu Manshur al-Shabbagh dalam al-Syamil, cerita yang populer dari al-‘Utbi. Beliau berkata: “Aku duduk di samping makam Rasulullah SAW,kemudian datang seorang a’rabi dan berkata: “Salam sejahtera atasmu ya Rasulullah. Aku mendengar Allah berfirman: “Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”. (QS. al-Nisa’: 64). Aku datang kepadamu dengan memohon ampun karena dosaku dan memohon pertolonganmu kepada Tuhanku”. Kemudian ia mengucapkan syair:
Wahai sebaik-baik orang yang jasadnya disemayamkan di tanah ini
Sehingga semerbaklah tanah dan bukit karena jasadmu
Jiwaku sebagai penebus bagi tanah tempat persemayamanmu
Di sana terdapat kesucian, kemurahan dan kemuliaan
Kemudian a’rabi itu pergi. Kemudian aku tertidur dan bermimpi bertemu Rasulullah SAW dan beliau berkata: “Wahai ‘Utbi, kejarlah si a’rabi tadi, sampaikan berita gembira kepadanya, bahwa Allah telah mengampuni dosanya”. (Al-Hafizh Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 1/492).
Kisah al-‘Utbi ini juga diriwayatkan oleh al-Hafizh al-Nawawi dalam al-Idhah fi Manasik al-Hajj (hal. 498), Ibn Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali dalam al-Mughni (3/556), Abu al-Faraj Ibn Qudamah dalam al-Syarh al-Kabir (3/495), al-Syaikh al-Buhuti dalam Kasysyaf al-Qina’ (5/30) dan lain-lain.
WAHABI: “Habib Abdullah Bin Alawiy Alhaddad dalam kitabnya "Saiful batir Li 'Unuqil Munkir 'Alal Akabir" yang beliau tulis pada tahun 1851 M. menyebutkan beberapa nama tokoh yang di anggapnya membolehkan istighatsah, berikut tulisannya:
قال شيخ الاسلام زكريا وكذلك زين الدين العراقي الشافعي والامام ابن رشد المالكي كما تقدم أول الكتاب هنا انك اذا ناديت مخلوقا حيا او ميتا يسمى نداء واذا ناديت ربك يسمى دعاء ففرق بين يا الله وبين يا ولي الله او يا فلان من المخلوقين وقد صرح بذلك العلماء وورد في السنة بيا عباد الله اعينوني وفي
Syaikhul Islam Zakariya berkata, demikian juga Zainuddin Al-Iraqi Al-Syafi'i dan Imam Ibnu Rusyd Al-Malikiy sebagaimana telah lebih dulu (dipaparkan) di sini pada awal kitab, bahwa jika kamu memanggil makhluk baik yang hidup ataupun yang mati, (maka panggilan itu) dinamakan Nidaa', dan jika kamu memanggil Rabbmu, (maka panggilan itu) dinamakan do'a, maka jelaslah perbedaan antara ucapan "wahai Allah" dengan "wahai Wali Allah" atau "wahai fulan" dari beberapa makhluk. Dan dengan yang demikian itu para ulama telah menjelaskannya, dan telah datang dari Sunnah dengan lafal "Wahai para hamba Allah tolonglah aku".
Adakah nama imam Bukhari disebut dalam nukilan di atas? Habib Alhaddad saja yang menjadi panutan di zamannya dan sampai hari ini oleh sebagian orang –Hadahullah-, tidak menyebutkan walau satu Huruf saja dari nama Imam Bukhari, lalu apakah hal yang mendorong ustadz ini berani menyebut-nyebut nama Imam Bukhari dalam perkara yang begitu fatal akibatnya ini?”
SUNNI: “Perlu saya luruskan, bahwa kitab al-Saif al-Batir, bukan karya Habibana Abdullah bin Alwi al-Haddad, akan tetapi karya Habib Alwi bin Ahmad bin Hasan bin Abdullah al-Haddad. Mohon para ustadz wahabi agar lebih teliti dalam menulis. Agar tidak keliru dalam hal-hal yang kecil. Nanti orang-orang akan berkata, yang kecil saja keliru, apalagi ....
Habib Alwi al-Haddad menjelaskan pernyataan tersebut, bukan dalam rangka menulis para ulama yang membolehkan istighatsah vs wahabi yang anti istighatsah. Akan tetapi dalam rangka menjelaskan perbedaan makna nida’ dalam istighatsah, ketika diarahkan kepada Allah, disebut doa, dan ketika diarahkan kepada makhluk, maka disebut nida’, panggilan, yang bukan ibadah, akan tetapi menjadikan makhluq mustaghats bih tersebut sebagai sebab musabab yang syar’i, sebagaimana kami jelaskan sebelumnya.”
WAHABI: “Kalaupun seandainya benar para ulama menghendaki bolehnya istighatsah kepada makhluk dengan memaparkan perincian makna Nida', lalu Apakah hal ini sah menjadi dalil atas boleh dan dianjurkannya istighatsah kepada makhluk? Tentu tidak, Sebab yang menjadi titik berat permasalahan di sini sebenarnya bukanlah tentang Nidaa' (Wahai) dan penamaannya, namun tentang kalimat permohonan "Aghitsuunii" (tolonglah aku), yang sangat jelas telah mengarah kepada Istighatsah kepada makhluk.”
SUNNI: “Boleh tidak nya istighatsah dengan makhluk tidak butuh kepada pemikiran Anda. Masalah ini sudah selesai, sebelum Ibnu Taimiyah. Anda hanya mengulang pernyataan Ibnu Taimiyah yang tidak berdasar saja, tetapi pendapat Ibnu Taimiyah tersebut Anda posisikan layaknya nash al-Qur’an dan hadits yang Qath’iy. Anda tidak bisa membuktikan bahwa larangan istighatsah datang dari para ulama sebelum Ibnu Taimiyah. Sebaliknya, kami telah mengutip beberapa riwayat istighatsah dari kaum salaf, termasuk dari Ibnu Taimiyah sendiri.”
WAHABI: “dan jika istighatsah ini dianggap bukan suatu kesyirikan dalam Uluhiyyah, lalu yang manakah kesyirikan dalam Uluhiyyah? sebut saja kata "Aghitsuunii" bukanlah do'a, namun hal itu tidak akan mengubah hakikatnya, sedangkan yang dinilai adalah hakikat bukan penamaan sesuatu.”
SUNNI: “Kesyirikan uluhiyyah bagi Istighatsah, itu hanya pendapat Ibnu Taimiyah, yang pernah dicabutnya di hadapan pengadilan para ulama. Anda pahami pernyataan saya di atas, dan perhatikan, siapa saja ulama besar yang beristighatsah, dan akan dicap sebagai orang kafir, syirik dan penyembah kuburan dengan pendapat Anda yang batil.”
WAHABI: “Maka dari itu sekali lagi Kita berharap ust. M.Ramli agar bersedia mendatangkan siapa saja Ulama salaf yang ia maksudkan menganjurkan istighatsah, jika tidak maka ia telah membuat opini yang sangat buruk terhadap masyarakat atas nama Imam Bukhari dan ulama hadits lainnya.”
SUNNI: “Anda seharusnya yang mendatangkan pernyataan para ulama Salaf yang melarang dan mensyirikkan istighatsah. Kalau memang istighatsah itu syirik, mengapa orang yang pertama kali berbicara itu Ibnu Taimiyah. Sedangkan amaliah yang disyirik-kan oleh Ibnu Taimiyah, telah berlangsung sejak generasi sahabat dan masa Salaf, seperti diriwayatkan dalam kitab-kitab hadits. Sebagian telah kami kutip dalam artikel ini.” Wallahu a’lam. Terima kasih atas perhatian semuanya.
Wassalam
Muhammad Idrus Ramli
— bersama Erwin Syarief dan 16 lainnya.JAWABAN TERHADAP TULISAN USTADZ WAHABI DI INTERNET YANG BERJUDUL: “Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ternyata Melarang Istighatsah Bag III”.
SETELAH SAYA MENULIS ARTIKEL DI FP INI DENGAN JUDUL “IBNU TAIMIYAH, ULAMA KONTROVERSIAL DALAM BANYAK PERSOALAN”, TULISAN TERSEBUT DITANGGAPI OLEH PENGANUT WAHABI DI WEB MEREKA SAMPAI TIGA KALI. SAYANG SEKALI, TANGGAPAN WAHABI TERSEBUT, HANYA TANGGAPAN SEPOTONG-SEPOTONG, TIDAK TUNTAS. SEHINGGA SECARA TIDAK LANGSUNG USTADZ WAHABI TERSEBUT PADA HAKIKATNYA MENGAKUI KEBENARAN APA YANG KAMI KATAKAN. BERIKUT JAWABAN KAMI TERHADAP TANGGAPAN KETIGA WAHABI YANG ANTI ISTIGHATSAH TERSEBUT.
WAHABI: “Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Sosok yang paling Alim dalam memahami Kitab & Sunnah, dan sosok yang paling konsisten dalam mengikutinya.”
SUNNI: “Pernyataan tersebut termasuk dari bagian pencitraan dan kultus individu.Tidak ada dalil al-Qur’an maupun hadits yang menegaskan secara tersurat maupun tersirat, bahwa Ibnu Taimiyah sosok yang paling alim dalam memahami Kitab dan Sunnah serta paling konsisten mengikutinya. Terbukti, Ustadz Wahabi (Ustadz Firanda maupun Musmulyadi) tidak bisa membela ketika Ibnu Taimiyah kami buktikan kesalahan dan kebatilannya dalam tulisan-tulisan kami. Bahkan para ustadz Wahabi memposisikan Ibnu Taimiyah layaknya seorang imam yang ma’shum, tidak punya salah dan lupa, atau mungkin juga dosa. Dengan demikian, Wahabi hampir sama dengan Syiah dalam hal mengkultuskan para imamnya. Apalagi Muhammad bin Abdul Wahhab yang telah kami buktikan kebohongannya. Ternyata syaikh yang dikultuskan ini, tidak bisa mereka bela.”
WAHABI: Saya: di sini ust. Ramli telah menelan kembali ucapannya sendiri dengan mengatakan "Justru Ibnu Taimiyyah adalah orang yang pertama mengharamkan tawassul dan Istighatsah", padahal sebelumnya dengan samar-samar ia menegaskan bahwa Ibnu Taimiyyah membolehkan Istighatsah. Hadahullah”.
SUNNI: “Pernyataan saya bukan menelan kembali ucapan saya secara samar-samar, tetapi ingin menjelaskan kepada public bahwa Ibnu Taimiyah adalah sosok controversial dalam banyak persoalan. Di sini bilang A, nanti di tempat lain akan bilang B. Ini akibat dari cara belajar Ibnu Taimiyah yang tanpa guru, sehingga ilmunya tidak sistimatis dan sering controversial.”
WAHABI: “3. Istighatsah kepada makhluk pada perkara yang tidak mampu ia lakukan, seperti meminta kesembuhan dengan memanggil nama seorang wali disertai dengan ucapan meminta seperti : wahai wali Allah tolonglah sembuhkan aku. Inilah istihgatsah yang terlarang dan bentuk nyata dari pe-nyekutuan kepada Allah dengan makhluknya, yang tidak satu pun hal ini pernah dilakukan oleh generasi terbaik.”
SUNNI: “Pernyataan di atas membuktikan bahwa Ustadz Wahabi tidak mengerti makna istighatsah. Berikut penjelasannya. Secara bahasa istighatsah bermakna meminta pertolongan. Adakalanya permintaan tolong ini secara langsung kepada Allah, Sang Pencipta. Allah SWT berfirman:
إذ تستغيثون ربكم فاستجاب لكم
“(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu”. (QS. al-Anfal : 9).
Dan adakalanya pertolongan itu diminta kepada orang yang bisa berbuat (kasab/bukan menciptakan) atau bisa menjadi perantara kepada Allah, seperti Nabi SAW dan wali. Dari sini, istighatsah sebenarnya tidak ada bedanya dengan tawasul, tasyaffu’, tawajjuh dan tajawwuh.
Ketika kita beristighatsah dengan Nabi SAW, pada hakikatnya Allah-lah mustaghats bih (yang dimintai tolong) secara hakiki, sedangkan Nabi SAW hanya mustaghats bih secara majazi dengan makna tasabbub (sebagai sebab/sarana/perantara) atau dengan makna kasab/yang berbuat, bukan yang menciptakan. Istighatsah dengan makna demikian tidak diperselisihkan di kalangan ulama sebelum Ibnu Taimiyah. Istighatsah dengan makna yang kami sebutkan tadi tidak diperselisihkan di kalangan salaf dan para ulama dengan bukti-bukti sebagai perikut:
Pertama) Ibnu Taimiyah sendiri ketika disidang oleh para ulama tentang istighatsah, ternyata dia tidak melarang istihgatsah dengan makna di atas, akan tetapi melarang istighatsah dengan makna ibadah. Dalam hal ini al-Hafizh Ibnu Katsir, murid Ibnu Taimiyah kebanggaan kaum Wahabi, dan al-Hafizh Ibnu Rajab bercerita:
في شوال من السنة المذكورة: اجتمع جماعة كثيرة من الصوفية، وشكواه الشيخ إلى الحاكم الشافعي، وعقد له مجلس لكلامه من ابن عربي وغيره، وادعى عليه ابن عطاء بأشياء، ولم يثبت منها شيئاً، لكنه اعترف أنه قال: لا يستغاث بالنبي صلى الله عليه وسلم، استغاثة بمعنى العبادة، ولكن يتوسل به، فبعض الحاضرين قال: ليس في هذا شيء. ورأى الحاكم ابن جماعة: أن هذا إساءة أدب، وعنفه على ذلك، فحضرت رسالة إلى القاضي: أن يعمل معه ما تقتضيه الشريعة في ذلك، فقال القاضي: قد قلت له ما يقال لمثله. ثم إن الدولة خيروه بين أشياء، وهي الإِقامة بدمشق، أو بالإسكندرية، بشروط، أو الحبس، فاختار الحبس
“Pada bulan Syawal tahun tersebut banyak kelompok dari kaum Shufi berkumpul dan mengadukan Ibnu Taimiyah kepada Qadhi (Hakim) bermadzhab al-Syafi’i. Lalu dibuatlah majlis untuk menyidang Ibnu Taimiyah, karena perkataannya tentang Ibnu ‘Arabi dan lainnya. Ibnu ‘Atha’ mendakwanya dengan beberapa persoalan, ternyata tak satupun darinya yang terbukti. Akan tetapi Ibnu Taimiyah mengaku bahwa dia berpendapat, tidak boleh ber-istighatsah dengan Nabi SAW dengan makna beribadah kepada Nabi SAW, akan tetapi boleh beristighatsah dengan makna bertawasul. Maka sebagian orang yang hadir berkata: “Pendapat Ibnu Taimiyah yang ini tidak bisa dituntut. Dan Hakim Ibnu Jama’ah berkata: “Bahwa pernyataan Ibnu Taimiyah tersebut merupakan etika yang buruk kepada Rasulullah SAW,” dan beliau menegurnya atas hal tersebut. Lalu datang surat kepada Qadhi, agar Ibnu Taimiyah ditindak sesuai dengan tuntutan syari’at mengenai etikanya yang buruk itu. Lalu Qadhi berkata: “Aku telah berkata kepadanya, apa yang dikatakan kepada yang sesamanya. Kemudian negara memberinya pilihan, yaitu tinggal di Damaskus, atau di Iskandariyah dengan beberapa syarat, atau masuk penjara. Lalu Ibnu Taimiyah memilih masuk penjara.” (Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, juz 14, hal 51, dan Ibnu Rajab al-Hanbali, al-Dzail ‘ala Thabaqat al-Hanabilah, juz 2 hal. 329).
Dalam fakta sejarah di atas, jelas sekali bahwa di hadapan persidangan para ulama, Ibnu Taimiyah hanya melarang beristighatsah dengan Nabi SAW dalam arti beribadah kepada beliau, bukan dalam arti bertawasul, sebagaimana kami jelaskan. Kemudian meskipun perkataan Ibnu Taimiyah tersebut tidak bisa diajukan sebagai dakwaan, tetapi para ulama menganggapnya sebagai etika yang buruk (su’ul adab) kepada Rasulullah SAW, dan dia harus mendekam di penjara. Tampaknya, dalam persidangan tersebut, Ibnu Taimiyah berusaha mengelak dari pendapatnya dalam kitab-kitabnya yang kemudian diusung oleh kaum Wahabi. Hal ini dilakukan oleh Ibnu Taimiyah, adakalanya karena ia merasa tidak punya hujjah untuk mempertahankannya, atau memang merasa bersalah dengan pendapatnya. Atau ia sadar akan kesalahannya, tetapi masih diikuti oleh kaum Wahabi.
Kedua) beristighatsah dengan orang yang sudah wafat telah berlangsung sejak generasi sahabat, tanpa ada orang yang menganggapnya syirik. Al-Hafizh al-Baihaqi meriwayatkan dalam Syu’ab al-Iman:
أخبرنا أبو عبد الله الحافظ أخبرني أبو محمد بن زياد نا محمد بن إسحاق الثقفي قال : سمعت أبا إسحاق القرشي يقول : كان عندنا رجل بالمدينة إذا رأى منكرا لا يمكنه أن يغيره أتى القبر فقال :
( أَيَا قَبْرَ النَّبِيِّ وَ صَاحِبَيْهِ ... أَلاَ يَا غَوْثَنَا لَوْ تَعْلَمُوْنَا )
“Abu Ishaq al-Qurasyi berkata: “Ada seorang laki-laki di Madinah di dekat kami, apabila melihat kemungkaran yang tidak mungkin ia berantas, maka ia mendatangi makam Nabi SAW lalu berkata:
Wahai makam Nabi SAW dan kedua temannya
Wahai penolong kami seandainya kamu mengetahu”
(Atsar di atas diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman juz 3 hal. 495, terbitan Dar al-Kutub al-Ilmiyah tahqiq Zaghlul, atau juz 6 hal. 60 terbitan Wahabi Maktabah al-Rusyd Riyadh tahqiq Mukhtar al-Nadwi.)
Abu Ishaq al-Qurasyi tersebut adalah maula Abdullah bin al-Harits bin Naufal al-Hasyimi, dan meriwayatkan hadits dari sahabat Abu Hurairah, sebagaimana ditegaskan oleh al-Hafizh al-Mizzi dalam Tahdzib al-Kamal, juz 8 hal. 230.
Syair yang diucapkan oleh Abu Ishaq al-Qurasyi tersebut, adalah Syair nya seorang sahabat Nabi SAW yang agung yaitu Nabighah al-Ja’di. Beliau mengucapkan syair tersebut, setelah dipukul oleh Sayyidina Abu Musa al-Asy’ari beberapa cambuk, sebagaimana disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Abdil Barr dalam al-Isti’ab, juz 3 hal. 586 (hamisy al-Ishabah).
Dalam syair di atas, sahabat Nabi SAW tersebut sangat jelas memanggil Nabi SAW dan kedua sahabatnya dengan redaksi ya ghautsana, wahai penolong kami, dan tidak satu pun dari para sahabat, tabi’in dan ahli hadits yang mendengar riwayat tersebut, menganggapnya syirik dan kafir. Bahkan kemudian al-Baihaqi menganjurkan membaca syair tersebut bagi orang yang ada di Madinah dan tidak mampu memberantas kemungkaran yang dilihatnya, sebagaimana ditegaskan oleh al-Hafizh al-Sakhawi dalam al-Ibtihaj bi-Adzkar al-Musafir wa al-Haj, hal. 138.
Ketiga) Tiga orang hafizh dan imam ahli hadits terkemuka pada masanya yaitu al-Hafizh Abu al-Qasim al-Thabarani (260-360 H/874-971 M) pengarang al-Mu’jam al-Kabir, al-Mu’jam al-Ausath, al-Mu’jam al-Shaghir dan lain-lain, al-Hafizh Abu al-Syaikh al-Ashbihani (274-369 H/897-979 M) pengarang Kitab al-Tsawab dan al-Hafizh Abu Bakar bin al-Muqri’ al-Ashbihani (273-381 H/896-991 M) melakukan istighatsah dengan Rasulullah SAW dalam kisah berikut:
قَالَ اْلإِمَامُ أَبُوْ بَكْرٍ بْنِ الْمُقْرِئِ: كُنْتُ أَنَا وَالطَّبَرَانِيُّ وَأَبُو الشَّيْخِ فِيْ حَرَمِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، وَكُنَّا عَلَى حَالَةٍ وَأَثَّرَ فِيْنَا الْجُوْعُ وَوَاصَلْنَا ذَلِكَ الْيَوْمَ، فَلَمَّا كَانَ وَقْتُ الْعِشَاءِ حَضَرْتُ قَبْرَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ الْجُوْعَ الْجُوْعَ، وَانْصَرَفْتُ. فَقَالَ لِيْ أَبُو الْقَاسِمِ: اِجْلِسْ إِمَّا أَنْ يَكُوْنَ الرِّزْقُ أَوْ الْمَوْتُ، قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ: فَنِمْتُ أَنَا وَأَبُو الشَّيْخِ وَالطَّبَرَانِيُّ جَالِسٌ يَنْظُرُ فِيْ شَيْءٍ فَحَضَرَ فِي الْبَابِ عَلَوِيٌّ فَدَقَّ فَفَتَحْنَا لَهُ فَإِذًا مَعَهُ غُلاَمَانِ مَعَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا زَنْبِيْلٌ فِيْ شَيْءٍ كَثِيْرٍ، فَجَلَسْنَا وَأَكَلْنَا، قَالَ الْعَلَوِيُّ: يَا قَوْمُ أَشَكَوْتُمْ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَإِنِّيْ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي الْمَنَامِ فَأَمَرَنِيْ أَنْ أَحْمِلَ بِشَيْءٍ إِلَيْكُمْ. رواه الحافظ ابن الجوزي في الوفا بأحوال المصطفى (ص/818)، والحافظ الذهبي في تذكرة الحفاظ (3/973) وتاريخ الإسلام (ص/2808).
“Al-Imam Abu Bakar bin al-Muqri’ berkata: “Saya berada di Madinah bersama al-Hafizh al-Thabarani dan al-Hafizh Abu al-Syaikh. Kami dalam kondisi prihatin dan sangat lapar, selama satu hari satu malam belum makan. Setelah waktu isya’ tiba, saya mendatangi makam Rasulullah SAW. Lalu saya berkata: “Ya Rasulullah, kami lapar, kami lapar (tolonglah kami)”. Dan saya segera pulang. Lalu al-Hafizh Abu al-Qasim al-Thabarani bertaka: “Duduklah, kita tunggu datangnya rezeki atau kematian”. Abu Bakar berkata: “Lalu aku dan Abu al-Syaikh tidur. Sedangkan al-Thabarani duduk sambil melihat sesuatu. Tiba-tiba datanglah laki-laki ‘Alawi (keturunan Nabi SAW) dan mengetuk pintu. Kami membukakan pintu untuknya. Ternyata ia bersama dua orang budaknya yang masing-masing membawa keranjang penuh dengan makanan. Lalu kami duduk dan makan bersama. Lalu laki-laki ‘Alawi itu berkata; “Hai kaum, apakah kalian mengadu kepada Rasulullah SAW? Aku bermimpi Rasulullah SAW dan menyuruhku membawakan makanan untuk kalian”.
Kisah ini diriwayatkan oleh al-Hafizh Ibn al-Jauzi (508-597 H/1114-1201 M) dalam al-Wafa bi-Ahwal al-Mushthafa (hal. 818), al-Hafizh al-Dzahabi dalam Tadzkirat al-Huffazh (3/973), dalam Tarikh al-Islam (hal. 2808) dan disebutkan oleh Syaikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani dalam Hujjatullah ‘ala al-‘Alamin (hal. 805).
Dalam kisah di atas, jelas sekali al-Imam al-Hafizh Ibnu al-Muqri’ al-Ashbihani tersebut, dengan sepengetahuan kedua rekannya al-Imam al-Thabarani dal al-Imam Abu al-Syaikh, ber-istighatsah dengan Nabi SAW ketika kelaparan. Dan tidak satupun dari ulama yang menilai ketiga imam tersebut telah syirik, kafir dan murtad, sebagaimana dalam keyakinan kaum Wahabi dewasa ini. Sudah pasti, dalam pandangan Wahabi, ketiga Imam hadits di atas, dan para ulama yang membenarkan mereka seperti Ibnu al-Jauzi, al-Dzahabi dan lain-lain, akan dicap sebagai Quburiyyun, penyembah kuburan. Tentu karena pandangan Wahabi yang salah dan batil, sebagai akibat taklid buta kepada Muhammad bin Abdul Wahhab yang telah kami buktikan kebohongannya, dan belum dijawab oleh para ustadz Wahabi.
Keempat) Al-Imam Abu al-Khair al-Aqtha’ al-Tinati (229-349 H/769-961 M), seorang ulama shufi terkemuka dan murid al-Imam Abu Abdillah bin al-Jalla’, melakukan istighatsah dengan Rasulullah SAW:
قَالَ أَبُو الْخَيْر اْلأَقْطَعُ: دَخَلْتُ مَدِيْنَةَ الرَّسُوْلِ صلى الله عليه وسلم وَأَنَا بِفَاقَةٍ فَأَقَمْتُ خَمْسَةَ أَيَّامٍ مَا ذُقْتُ ذَوْقًا فَتَقَدَّمْتُ إِلَى الْقَبْرِ فَسَلَّمْتُ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَقُلْتُ أَنَا ضَيْفُكَ اللَّيْلَةَ يَا رَسُوْلَ اللهِ وَتَنَحَّيْتُ فَنِمْتُ خَلْفَ الْمِنْبَرِ فَرَأَيْتُ فِي النَّوْمِ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم وَقَبَّلْتُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ فَدَفَعَ إِلَيَّ رَغِيْفًا فَأَكَلْتُ نِصْفَهُ وَانْتَبَهْتُ وَإِذًا فِي يَدِيْ نِصْفُ رَغِيْفٍ، رواه الإمام الحافظ السلمي في طبقات الصوفية (ص/382) والحافظ ابن الجوزي في صفة الصفوة (4/284) والحافظ ابن عساكر في تاريخ دمشق (66/161)، والحافظ الذهبي في تاريخ الإسلام (2632)، والحافظ السخاوي في القول البديع (ص/160) والعارف الشعراني في الطبقات الكبرى (1/109).
“Abu al-Khair al-Aqtha’ berkata: “Saya mendatangi makam Rasulullah J dalam keadaan sangat lapar. Lalu saya berkata: “Aku bertamu kepadamu wahai Rasulullah”. Lalu aku agak menjauh dan tidur di belakang mimbar. Dalam tidur aku bermimpi bertemu Rasulullah J, lalu aku cium antara kedua mata beliau dan beliau memberiku sepotong roti. Lalu aku makan roti itu separuh. Lalu aku terbangun, dan ternyata di tanganku tersisa separuh roti itu”.
Kisah ini diriwayatkan oleh al-Imam al-Hafizh al-Sulami dalam Thabaqat al-Shufiyyah (hal. 382), al-Hafizh Ibn al-Jauzi dalam Shifat al-Shafawah (4/283), al-Hafizh Ibn ’Asakir dalam Tarikh Dimasyq (66/161), al-Hafizh al-Dzahabi dalam Tarikh al-Islam (hal. 2632), al-Hafizh al-Sakhawi dalam al-Qaul al-Badi’ (hal. 160), al-Sya’rani dalam al-Thabaqat al-Kubra (1/109) dan lain-lain.
Dalam kisah di atas, jelas sekali, al-Imam al-‘Arif al-Shufi Abu al-Khair al-Aqtha’, ber-istighatsah dengan Nabi SAW karena lima hari tidak menyicipi makanan. Seandainya ber-istighatsah dengan Nabi SAW termasuk syirik dan kafir, sudah barang tentu, Abu al-Khair al-Aqtha’ tidak akan dikutip biografinya oleh para ulama seperti al-Sulami, Ibnu Asakir, Ibnu al-Jauzi, al-Dzahabi dan lain-lain. Buat apa mengutip biografi orang musyrik dan kafir.
Tiga kisah di atas, plus pengakuan Ibnu Taimiyah sebelumnya, cukup membuktikan bahwa istighatsah dengan makhluq yang dekat kepada Allah, tidak dilarang, dan bahkan diamalkan oleh kaum Salaf sejak masa sahabat dan ahli hadits.”
WAHABI: “Adapun tawassul: adalah berdoa kepada Allah dengan menyebut nama seorang yang memiliki kemuliaan di sisi Allah dengan harapan bahwa penyebutan nama orang tersebut dapat memudahkan terkabulnya doa, inilah perbedaan antara Istigatsah dan tawassul. Adapun anggapan Istighatsah bukan meminta tolong kepada makhluq, maka saya belum mendapatkan seorang pun dari kalangan ulama - yang membolehkan istighatsah -mengatakan hal tersebut”.
SUNNI: “Tidak ada bedanya antara tawasul dan istighatsah, sebagaimana telah dipaparkan oleh para ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Kedua-duanya sama-sama berdoa kepada Allah, melalui perantara, amal shaleh atau orang shaleh yang masih hidup maupun sudah wafat. Sedangkan pernyataan Ustadz Musmulyadi bahwa ia tidak menemukan seorang ulama pun yang membolehkan istighatsah, itu karena Anda tidak pernah membaca kitab para ulama yang mu’tabar, akan tetapi hanya bertaklid buta kepada Muhammad bin Abdul Wahhab, yang telah kami buktikan kebohongannya.”
WAHABI: “Ibnu Taimiyah meriwayatkan Atsar Ibnu Umar itu dalam kitab Al-Kalimut thoyyib di bawah sebuah pasal yang berbunyi: "pasal tentang kaki apa bila mati rasa" dari pemberian pasal ini saja dapat dipahami bahwa beliau tidak ada tujuan menganjurkan istighatsah dengan menukil Atsar Ibnu Umar, dan hal ini juga yang dilakukan oleh imam nawawi ketika menyebutkan Atsar tersebut dalam Al-Adzkar, Imam nawawi berkata: "Bab apa yang akan diucapkannya jika kakinya mati rasa.”
SUNNI: “Ustadz Musmulyadi perlu mengerti makna al-Kalim al-Thayyib, kalimat-kalimat atau dzikir yang baik, artinya atsar dari Ibnu Umar tersebut termasuk dzikir, bukan seperti memanggil artis pujaan yang tidak agamis itu. Coba Anda baca kitab al-Kalim al-Thayyib dari mukaddimah, semuanya membicarakan tentang dzikir kepada Allah. Sedangkan kitab al-Azkar karya al-Imam al-Nawawi, sangat jelas mendukung bahwa atsar Ibnu Umar ketika mati rasa, lalu berkata “Wahai Muhammad”, adalah bermakna dzikir, bukan bermakna jampi-jampi seperti yang diucapkan seorang dukun yang dikafirkan oleh kaum Wahabi. Kitab Adzkar itu bukan kitab dukun atau ilmu kedokteran, akan tetapi dari namanya, sangat jelas, bahwa itu kitab yang berisi dzikir, doa dan wiridan kepada Allah. Sedangkan kutipan syair sesudahnya, itu bukan berarti bahwa dzikir itu kehilangan substansinya karena terbukti secara medis, akan tetapi justru memperkuat pandangan bahwa istighatsah itu dibenarkan secara medis. Anda harus faham, bahwa dalil-dalil syar’i tidak bisa dikooptasi oleh penemuan medis, akan tetapi sebaliknya, penemuan medis, harus diikutkan kepada dalil-dalil syar’i.”
Selanjutnya, Ustadz Musmulyadi mengomentari panjang lebar, hadits al-Bukhari tentang istighatsah, dan tidak perlu kami tanggapi, karena ia tidak mengomentari bahwa Ibnu Taimiyah berdalil dengan hadits dha’if dalam kitabnya Qa’idah Jalilah, dalam rangkan melarang istighatsah versi Wahabi. Hal ini agaknya membuktikan bahwa Ustadz Musmulyadi mengakui bahwa Syaikhu-Islam nya berdalil dengan hadits dha’if.
WAHABI: "Abdul Malik bin Sa’id bin Abjar adalah Ulama yang hidup pada masa Shigharuttabi'in dan beliau di sebutkan oleh Imam Ibnu Hibban dalam kitabnya Al—Tsiqaat. dalam Kisah tersebut ada seorang lelaki yang mendatangi beliau namun sayang lelaki ini tidak diketahui keberadaan dan kredibilatasnya dalam Jarh dan Ta'dil, disamping juga dia bukan seorang Shahabat, lalu bagimana kita akan mengambil hujjah dari seorang lelaki yang belum jelas!!? Oleh sebab itulah kisah ini menjadi cacat dan tidak bisa di jadikan Hujjah layaknya kisah-kisah yang terbangun dari mimpi. Jika demikian adanya maka gugurlah berdalil dengannya. Wallahu A'lam".
SUNNI: “Hujjah dari kisah tersebut sangat jelas, karena Imam Ibnu Abjar sendiri membenarkan doa laki-laki tersebut. Demikian pula al-Imam Ibnu Abi al-Dunya, yang meriwayatkannya dalam kitabnya Mujabi al-Da’wah hal. 85, dan Ibnu Taimiyah yang mengutipnya dalam Qa’idah Jalilah, membenarkan dan tidak mensyirikkan doa tersebut. Jadi kesimpulan kami bukan terbangun dari mimpi, sebagaimana mimpi Ustadz Firanda sebelumnya.”
WAHABI: “Ust. Ramli berkata: Dalam redaksi doa ulama Salaf tersebut, sangat jelas ada kalimat memanggil nama Nabi SAW, padahal Nabi SAW sudah wafat lebih dua ratus tahun? Bukankah ini namanya istighatsah???”
Saya (WAHABI): ini bukan istighatsah, yaitu meminta kepada Rasulullah yang telah wafat dua ratus tahun lalu, namun ini adalah hanya sebuah Nida' biasa, sebab di awal doa, lelaki tersebut hanya berdoa kepada Allah semata, inilah terjemah dari doa tersebut:
"ya Allah sesungguhnya aku menghadap kepadamu dengan Nabimu Muhammad, yang adalah sebagai nabi Rahmah- Shallallahu 'Alaihi Wasallam- , wahai muhammad sesunguhnya aku menghadap denganmu kepada Rabbmu dan Rabbku agar ia (Allah) mengasihani diriku dari penyakit yang ada padaku."
Kata "wahai muhammad" di sini sudah jelas bukan meminta tolong namun hanya sekedar memanggil biasa seperti yang telah kami paparkan sebelumnya pada Atsar Ibnu Umar.”
SUNNI: “Tidak ada bedanya antara istighatsah dan tawasul, sebagaimana dalam pengkuan Ibnu Taimiyah di atas ketika disidang di pengadilan. Hal tersebut sebagaimana dikutip oleh Ibnu Katsir, murid Ibnu Taimiyah kebanggaan kaum Wahabi, dan Ibnu Rajab.
Sedangkan pernyataan Ustadz Musmulyadi: “"ya Allah sesungguhnya aku menghadap kepadamu dengan Nabimu Muhammad, yang adalah sebagai nabi Rahmah- Shallallahu 'Alaihi Wasallam- , wahai muhammad sesunguhnya aku menghadap denganmu kepada Rabbmu dan Rabbku agar ia (Allah) mengasihani diriku dari penyakit yang ada padaku."
Kata "wahai muhammad" di sini sudah jelas bukan meminta tolong namun hanya sekedar memanggil biasa seperti yang telah kami paparkan sebelumnya pada Atsar Ibnu Umar.”
SUNNI: “Pernyataan sangat lucu. Tadi dia bilang, bahwa pernyataan Ibnu Umar ketika mati rasa, itu ucapan orang yang memanggil kekasihnya, bukan berdzikir kepada Allah, sebagaimana dipraktekkan orang-orang Jahiliyah sebelumnya. Di sini, ia menyamakan atsar Ibnu Umar tersebut, dengan atsar dari Ibnu Abjar, yang bukan mati rasa, dan panggilannya didahului dengan doa kepada Allah dan tawasul dengan Nabi SAW yang sudah wafat, yang disyirikkan oleh Wahabi. Semoga Ustadz Musmulyadi tidak sedang bermimpi. Apabila atsar Ibnu Umar sama dengan atsar Ibnu Abjar, berarti kedua-duanya sama-sama tawasul dan istighatsah, bukan yang lain.”
WAHABI: “Kemudian sisa dari tulisan Ustadz berikutnya tidak saya tanggapi karena isinya tidak lebih dari perendahan dan meremehkan ulama, seperti Ibnu Taimiyyah”.
SUNNI: “Harusnya Anda membuktikan bahwa Ibnu Taimiyah tidak berbohong dalam pernyataannya. Dan saya telah menulis beberapa bukti kebohongan Ibnu Taimiyah dan Ibnu Abdil Wahhab an-Najdi, tetapi Anda tidak bisa membelanya. Atau akui saja, bahwa beliau berdua memang salah dan keliru. Lalu mintakan ampun kepada Allah atas kealpaan beliau berdua, bukan mengalihkan persoalan ke masalah lain.”
WAHABI: “Janganlah kalian mencela yang telah wafat, sesungguhnya mereka telah mendapatkan apa yang telah mereka perbuat, terlebih jika orang tersebut adalah seorang Ulama yang telah menghabiskan umurnya demi agama, tidaklah layak bagi siapapun merendahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah pada hari ini, siapa pun orangnya”.
SUNNI: “Kami tidak membahas Ibnu Taimiyah secara pribadi. Akan tetapi kami membahas pendapatnya yang tidak sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW, dan membuat-buat gosip bohong atas nama kaum salaf.”
WAHABI: “andai saja kita mau bersikap adil maka cukuplah keberadaan imam Ibnu Katsir Rahimahullah sebagai bukti akan kemuliaan Ibnu taimiyyah, bagaimana tidak demikian, Ibnu Katsir adalah Murid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.”
SUNNI: “Anda terlalu melebih-lebihkan hubungan Ibnu Katsir, dengan Ibnu Taimiyah, seakan-akan Ibnu Katsir hanya berguru kepada Ibnu Taimiyah saja. Ibnu Katsir menjadi orang yang sangat alim dan diakui, justru karena gurunya bukan hanya Ibnu Taimiyah. Silahkan Anda baca biografinya di kitab-kitab thabaqat dan tarajim. Dan ini hadiah dari Ibnu Katsir kepada kalian wahai kaum Wahabi yang anti istighatsah. Beliau justru menganjurkan istighatsah dan menentang pendapat Ibnu Taimiyah, gurunya, yang batil itu. Beliau berkata dalam Tarikhnya al-Bidayah wa al-Nihayah dan kitabnya Jami’ al-Masanid:
عَنْ مَالِكٍ الدَّارِ، قَالَ : وَكَانَ خَازِنَ عُمَرَ عَلَى الطَّعَامِ، قَالَ : أَصَابَ النَّاسَ قَحْطٌ فِيْ زَمَنِ عُمَرَ، فَجَاءَ رَجُلٌ إِلَى قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ اِسْتَسْقِ ِلأُمَّتِكَ فَإِنَّهُمْ قَدْ هَلَكُوْا، فَأَتَى الرَّجُلَ فِي الْمَنَامِ فَقِيْلَ لَهُ : ائْتِ عُمَرَ فَأَقْرِئْهُ السَّلاَمَ وَأَخْبِرْهُ أَنَّكُمْ مَسْقِيُّوْنَ، وَقُلْ لَهُ : عَلَيْكَ الْكَيْسَ، عَلَيْكَ الْكَيْسَ، فَأَتَى عُمَرَ فَأَخْبَرَهُ فَبَكَى عُمَرُ ثُمَّ قَالَ: يَا رَبِّ لاَ آلُوْ إِلاَّ مَا عَجَزْتُ عَنْهُ. رواه ابن أبي شيبة في المصنف (12/31-32)، و ابن أبي خيثمة كما في الإصابة (3/484)، والبيهقي في دلائل النبوة (7/447) والخليلي في الإرشاد (1/313-314) ، وابن عبد البر في الاستيعاب (2/464)، وإسناده صحيح، وقد صححه الحافظ ابن كثير في البداية والنهاية (7/101) ، وصححه الحافظ ابن حجر في فتح الباري (2/495). وقال ابن كثير في جامع المسانيد – مسند عمر – (1/223) : إسناده جيد قوي. وأقر ابن تيمية بثبوته في اقتضاء الصراط المستقيم (ص/373) .
“Diriwayatkan dari Malik al-Dar, bendahara pangan Khalifah Umar bin al-Khaththab, bahwa musim paceklik melanda kaum Muslimin pada masa Khalifah Umar. Maka seorang sahabat (yaitu Bilal bin al-Harits al-Muzani) mendatangi makam Rasulullah SAW dan mengatakan: “Hai Rasulullah, mohonkanlah hujan kepada Allah untuk umatmu karena sungguh mereka benar-benar telah binasa”. Kemudian orang ini bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW dan beliau berkata kepadanya: “Sampaikan salamku kepada Umar dan beritahukan bahwa hujan akan turun untuk mereka, dan katakan kepadanya “bersungguh-sungguhlah melayani umat”. Kemudian sahabat tersebut datang kepada Umar dan memberitahukan apa yang dilakukannya dan mimpi yang dialaminya. Lalu Umar menangis dan mengatakan: “Ya Allah, saya akan kerahkan semua upayaku kecuali yang aku tidak mampu”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (12/31-32), Ibn Abi Khaitsamah sebagaimana dalam al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah (3/484), al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwwah (7/47), al-Khalili dalam al-Irsyad (1/313-314) dan al-Hafizh Ibn Abdilbarr dalam al-Isti’ab (2/464). Sanad hadits ini dinilai shahih oleh al-Hafizh Ibn Katsir dalam al-Bidayah wa al-Nihayah (7/101) dan al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari (2/495). Al-Hafizh Ibn Katsir juga mengatakan dalam kitabnya yang lain, Jami’ al-Masanid di bagian Musnad Umar bin al-Khaththab (1/223) bahwa sanad hadits ini jayyid dan kuat. Menurut al-Hafizh Ibn Hajar, yang dimaksud laki-laki yang mendatangi makam Nabi SAW dan melakukan tawassul dalam hadits ini adalah sahabat Bilal bin al-Harits al-Muzani RA.
Hadits ini menunjukkan dibolehkannya ber-tawassul dengan para nabi dan wali yang sudah meninggal dengan redaksi nida’ (memanggil) yaitu “Ya Rasulallah”. Ketika Bilal bin al-Harits al-Muzani mengatakan “istasqi liummatik”, maka maknanya ialah “Mohonkanlah hujan kepada Allah untuk umatmu”, bukan ciptakanlah hujan untuk umatmu.
Ibnu Katsir –yang dikagumi oleh kaum Wahhabi– juga berkata dalam tafsirnya:
يُرْشِدُ تَعَالَى الْعُصَاةَ وَالْمُذْنِبِيْنَ إِذَا وَقَعَ مِنْهُمُ الْخَطَأُ وَالْعِصْيَانُ أَنْ يَأْتُوْا إِلَى الرَّسُوْلِ صلى الله عليه وسلم فَيَسْتَغْفِرُوْا اللهَ عِنْدَهُ وَيَسْأَلُوْهُ أَنْ يَسْتَغْفِرَ لَهُمْ فَإِنَّهُمْ إِذَا فَعَلُوْا ذَلكَ تَابَ اللهُ عَلَيْهِمْ وَرَحِمَهُمْ وَغَفَرَ لَهُمْ . . . وَقَدْ ذَكَرَ جَمَاعَةٌ مِنْهُمْ الشَّيْخُ أَبُوْ نَصْرٍ بْنِ الصَّبَّاغِ فِيْ كِتَابِهِ الشَّامِلِ الْحِكَايَةَ الْمَشْهُوْرَةَ عَنِ الْعُتْبِيِّ قَالَ : كُنْتُ جَالِسًا عِنْدَ قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَجَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَقَالَ: السَّلامُ عَلَيْكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ سَمِعْتُ اللهَ يَقُوْلُ (وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوْا أَنْفُسَهُمْ جَاؤُوْكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُوْلُ لَوَجَدُوا اللهَ تَوَّاباً رَحِيْماً) وَقَدْ جِئْتُكَ مُسْتَغْفِرًا لِذَنْبِيْ مُسْتَشْفِعًا بِكَ إِلَى رَبِّيْ ثُمَّ أَنْشَأَ يَقُوْلُ:
يَا خَيْرَ مَنْ دُفِنَتْ بِالْقَاعِ أَعْظُمُهُ ... فَطَابَ مِنْ طِيْبِهِنَّ الْقَاعُ وَاْلأَكَمُ
نَفْسِي الْفِدَاءُ لِقَبْرٍ أَنْتَ سَـاكِنُهُ ... فِيْهِ الْعَـفَافُ وَفِيْهِ الْجُوْدُ وَالْكَرَمُ
ثُمَّ انْصَرَفَ اْلأَعْرَابِيُّ فَغَلَبَتْنِيْ عَيْنِيْ فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فِي النَّوْمِ فَقَالَ يَا عُتْبِيُّ اِلْحَقِ اْلأَعْرَابِيَّ فَبَشِّرْهُ أَنَّ اللهَ قَدْ غَفَرَ لَهُ انتهى، ذكره الحافظ ابن كثير في تفسيره (1/492) والحافظ النووي في الإيضاح (ص/498)، والإمام ابن قدامة المقدسي الحنبلي في المغني (3/556)، وأبو الفرج ابن قدامة في الشرح الكبير (3/495)، والشيخ منصور البهوتي الحنبلي في كشاف القناع (5/30).
“Allah SWT memberikan petunjuk kepada orang-orang yang berbuat maksiat dan berbuat dosa, apabila di antara mereka melakukan kesalahan dan kemaksiatan supaya mendatangi Rasulullah SAW, meminta ampun kepada Allah di sisinya dan memohon kepada beliau agar memohonkan ampun untuk mereka, karena apabila mereka melakukan hal itu, maka Allah akan mengabulkan taubatnya, mengasihinya dan mengampuninya. Banyak ulama menyebutkan seperti al-Imam Abu Manshur al-Shabbagh dalam al-Syamil, cerita yang populer dari al-‘Utbi. Beliau berkata: “Aku duduk di samping makam Rasulullah SAW,kemudian datang seorang a’rabi dan berkata: “Salam sejahtera atasmu ya Rasulullah. Aku mendengar Allah berfirman: “Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”. (QS. al-Nisa’: 64). Aku datang kepadamu dengan memohon ampun karena dosaku dan memohon pertolonganmu kepada Tuhanku”. Kemudian ia mengucapkan syair:
Wahai sebaik-baik orang yang jasadnya disemayamkan di tanah ini
Sehingga semerbaklah tanah dan bukit karena jasadmu
Jiwaku sebagai penebus bagi tanah tempat persemayamanmu
Di sana terdapat kesucian, kemurahan dan kemuliaan
Kemudian a’rabi itu pergi. Kemudian aku tertidur dan bermimpi bertemu Rasulullah SAW dan beliau berkata: “Wahai ‘Utbi, kejarlah si a’rabi tadi, sampaikan berita gembira kepadanya, bahwa Allah telah mengampuni dosanya”. (Al-Hafizh Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 1/492).
Kisah al-‘Utbi ini juga diriwayatkan oleh al-Hafizh al-Nawawi dalam al-Idhah fi Manasik al-Hajj (hal. 498), Ibn Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali dalam al-Mughni (3/556), Abu al-Faraj Ibn Qudamah dalam al-Syarh al-Kabir (3/495), al-Syaikh al-Buhuti dalam Kasysyaf al-Qina’ (5/30) dan lain-lain.
WAHABI: “Habib Abdullah Bin Alawiy Alhaddad dalam kitabnya "Saiful batir Li 'Unuqil Munkir 'Alal Akabir" yang beliau tulis pada tahun 1851 M. menyebutkan beberapa nama tokoh yang di anggapnya membolehkan istighatsah, berikut tulisannya:
قال شيخ الاسلام زكريا وكذلك زين الدين العراقي الشافعي والامام ابن رشد المالكي كما تقدم أول الكتاب هنا انك اذا ناديت مخلوقا حيا او ميتا يسمى نداء واذا ناديت ربك يسمى دعاء ففرق بين يا الله وبين يا ولي الله او يا فلان من المخلوقين وقد صرح بذلك العلماء وورد في السنة بيا عباد الله اعينوني وفي
Syaikhul Islam Zakariya berkata, demikian juga Zainuddin Al-Iraqi Al-Syafi'i dan Imam Ibnu Rusyd Al-Malikiy sebagaimana telah lebih dulu (dipaparkan) di sini pada awal kitab, bahwa jika kamu memanggil makhluk baik yang hidup ataupun yang mati, (maka panggilan itu) dinamakan Nidaa', dan jika kamu memanggil Rabbmu, (maka panggilan itu) dinamakan do'a, maka jelaslah perbedaan antara ucapan "wahai Allah" dengan "wahai Wali Allah" atau "wahai fulan" dari beberapa makhluk. Dan dengan yang demikian itu para ulama telah menjelaskannya, dan telah datang dari Sunnah dengan lafal "Wahai para hamba Allah tolonglah aku".
Adakah nama imam Bukhari disebut dalam nukilan di atas? Habib Alhaddad saja yang menjadi panutan di zamannya dan sampai hari ini oleh sebagian orang –Hadahullah-, tidak menyebutkan walau satu Huruf saja dari nama Imam Bukhari, lalu apakah hal yang mendorong ustadz ini berani menyebut-nyebut nama Imam Bukhari dalam perkara yang begitu fatal akibatnya ini?”
SUNNI: “Perlu saya luruskan, bahwa kitab al-Saif al-Batir, bukan karya Habibana Abdullah bin Alwi al-Haddad, akan tetapi karya Habib Alwi bin Ahmad bin Hasan bin Abdullah al-Haddad. Mohon para ustadz wahabi agar lebih teliti dalam menulis. Agar tidak keliru dalam hal-hal yang kecil. Nanti orang-orang akan berkata, yang kecil saja keliru, apalagi ....
Habib Alwi al-Haddad menjelaskan pernyataan tersebut, bukan dalam rangka menulis para ulama yang membolehkan istighatsah vs wahabi yang anti istighatsah. Akan tetapi dalam rangka menjelaskan perbedaan makna nida’ dalam istighatsah, ketika diarahkan kepada Allah, disebut doa, dan ketika diarahkan kepada makhluk, maka disebut nida’, panggilan, yang bukan ibadah, akan tetapi menjadikan makhluq mustaghats bih tersebut sebagai sebab musabab yang syar’i, sebagaimana kami jelaskan sebelumnya.”
WAHABI: “Kalaupun seandainya benar para ulama menghendaki bolehnya istighatsah kepada makhluk dengan memaparkan perincian makna Nida', lalu Apakah hal ini sah menjadi dalil atas boleh dan dianjurkannya istighatsah kepada makhluk? Tentu tidak, Sebab yang menjadi titik berat permasalahan di sini sebenarnya bukanlah tentang Nidaa' (Wahai) dan penamaannya, namun tentang kalimat permohonan "Aghitsuunii" (tolonglah aku), yang sangat jelas telah mengarah kepada Istighatsah kepada makhluk.”
SUNNI: “Boleh tidak nya istighatsah dengan makhluk tidak butuh kepada pemikiran Anda. Masalah ini sudah selesai, sebelum Ibnu Taimiyah. Anda hanya mengulang pernyataan Ibnu Taimiyah yang tidak berdasar saja, tetapi pendapat Ibnu Taimiyah tersebut Anda posisikan layaknya nash al-Qur’an dan hadits yang Qath’iy. Anda tidak bisa membuktikan bahwa larangan istighatsah datang dari para ulama sebelum Ibnu Taimiyah. Sebaliknya, kami telah mengutip beberapa riwayat istighatsah dari kaum salaf, termasuk dari Ibnu Taimiyah sendiri.”
WAHABI: “dan jika istighatsah ini dianggap bukan suatu kesyirikan dalam Uluhiyyah, lalu yang manakah kesyirikan dalam Uluhiyyah? sebut saja kata "Aghitsuunii" bukanlah do'a, namun hal itu tidak akan mengubah hakikatnya, sedangkan yang dinilai adalah hakikat bukan penamaan sesuatu.”
SUNNI: “Kesyirikan uluhiyyah bagi Istighatsah, itu hanya pendapat Ibnu Taimiyah, yang pernah dicabutnya di hadapan pengadilan para ulama. Anda pahami pernyataan saya di atas, dan perhatikan, siapa saja ulama besar yang beristighatsah, dan akan dicap sebagai orang kafir, syirik dan penyembah kuburan dengan pendapat Anda yang batil.”
WAHABI: “Maka dari itu sekali lagi Kita berharap ust. M.Ramli agar bersedia mendatangkan siapa saja Ulama salaf yang ia maksudkan menganjurkan istighatsah, jika tidak maka ia telah membuat opini yang sangat buruk terhadap masyarakat atas nama Imam Bukhari dan ulama hadits lainnya.”
SUNNI: “Anda seharusnya yang mendatangkan pernyataan para ulama Salaf yang melarang dan mensyirikkan istighatsah. Kalau memang istighatsah itu syirik, mengapa orang yang pertama kali berbicara itu Ibnu Taimiyah. Sedangkan amaliah yang disyirik-kan oleh Ibnu Taimiyah, telah berlangsung sejak generasi sahabat dan masa Salaf, seperti diriwayatkan dalam kitab-kitab hadits. Sebagian telah kami kutip dalam artikel ini.” Wallahu a’lam. Terima kasih atas perhatian semuanya.
Wassalam
Muhammad Idrus Ramli
Tidak ada komentar:
Posting Komentar