فَإِذَا
فَرَغَ مِنَ الصَّلاةِ أَثْنَى عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ هُوَ وَمَنْ
حَضَرَ بِمَا وَرَدَ مِنْ قَوْلِهِ الَلَّهُمَّ اَنْتَ السَّلامُ وَمِنْكَ
السَّلامُ تَبَارَكْتَ يَا ذَا الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ ثُمَّ يُقْبِلُ
عَلَى الْجَمَاعَةِ ثُمَّ يَأْتِيْ
بِالتَّهْلِيْلاَتِ الْوَارِدَاتِ حِيْنَئِذٍ ثُمَّ يُسَبِّحُ اللهَ
وَيَحْمَدُهُ وَيُكَبِّرُهُ ثَلاثًا وَثَلاثِيْنَ وَيَخْتِمُ الْمِائَةَ
بِالتَّهْلِيْلِ كَمَا وَرَدَ وَكَذَا الْجَمَاعَةُ ثُمَّ يَدْعُو اللهَ
تَعَالى لَهُ وَلَهُمْ وَلِلْمُسْلِمِيْنَ. وَكَانَ قَدْ عُرِفَتْ
عَادَتُهُ؛ لاَ يُكَلِّمُهُ أَحَدٌ بِغَيْرِ ضَرُوْرَةٍ بَعْدَ صَلاةِ
الْفَجْرِ فَلاَ يَزَالُ فِي الذِّكْرِ يُسْمِعُ نَفْسَهُ وَرُبَّمَا
يُسْمِعُ ذِكْرَهُ مَنْ إِلَى جَانِبِهِ، مَعَ كَوْنِهِ فِيْ خِلاَلِ
ذَلِكَ يُكْثِرُ فِي تَقْلِيْبِ بَصَرِهِ نَحْوَ السَّمَاءِ. هَكَذَاَ
دَأْبُهُ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَمْسُ وَيزُوْلَ وَقْتُ النَّهْيِ عَنِ
الصَّلاةِ. وَكُنْتُ مُدَّةَ إِقَامَتِيْ بِدِمَشْقَ مُلاَزِمَهُ جُلَّ
النَّهَارِ وَكَثِيْراً مِنَ اللَّيْلِ. وَكَانَ يُدْنِيْنِيْ مِنْهُ
َحتَّى يُجْلِسَنِيْ إِلَى جَانِبِهِ، وَكُنْتُ أَسْمَعُ مَا يَتْلُوْ
وَمَا يَذْكُرُ حِيْنَئِذٍ، فَرَأَيْتُهُ يَقْرَأُ الْفَاتِحَةَ
وَيُكَرِّرُهَا وَيَقْطَعُ ذَلِكَ الْوَقْتَ كُلَّهُ ـ أَعْنِيْ مِنَ
الْفَجْرِ إِلَى ارْتِفَاعِ الشَّمْسِ ـ فِيْ تَكْرِيْرِ تِلاَوَتِهَا.
فَفَكَّرْتُ فِيْ ذَلِكَ؛ لِمَ قَدْ لَزِمَ هَذِهِ السُّوْرَةَ دُوْنَ
غَيْرِهَا؟ فَبَانَ لِيْ ـ وَاللهُ أَعْلَمُ ـ أَنَّ قَصْدَهُ بِذَلِكَ
أَنْ يَجْمَعَ بِتِلاَوَتِهَا حِيْنَئِذٍ مَا وَرَدَ فِي اْلأَحَادِيْثِ،
وَمَا ذَكَرَهُ الْعُلَمَاءُ: هَلْ يُسْتَحَبُّ حِيْنَئِذٍ تَقْدِيْمُ
اْلأَذْكَارِ الْوَارِدَةِ عَلَى تِلاَوَةِ الْقُرْآنِ أَوِ الْعَكْسُ؟
فرَأَى أَنَّ فِي الْفَاتِحَةِ وَتِكْرَارِهَا حِيْنَئِذٍ جَمْعاً بَيْنَ
الْقَوْلَيْنِ وَتَحْصِيْلاً لِلْفَضِيْلَتَيْنِ، وَهَذَا مِنْ قُوَّةِ
فِطْنَتِهِ وَثَاقِبِ بَصِيْرَتٍهٍ، اهـ (عمر بن علي البزار، الأعلام
العلية في مناقب ابن تيمية، ص/37-39).
“Apabila
Ibn Taimiyah selesai shalat shubuh, maka ia berdzikir kepada Allah
bersama jamaah dengan doa yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam Allahumma antassalam . . . Lalu ia menghadap kepada jamaah,
lalu membaca tahlil-tahlil yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam, lalu tasbih, tahmid dan takbir, masing-masing 33 kali. Dan
diakhiri dengan tahlil sebagai bacaan yang keseratus. Ia membacanya
bersama jamaah yang hadir. Kemudian ia berdoa kepada Allah SWT untuk
dirinya dan jamaah serta kaum Muslimin. Kebiasaan Ibn Taimiyah telah
maklum, ia sulit diajak bicara setelah shalat shubuh kecuali terpaksa.
Ia akan terus berdzikir pelan, cukup didengarnya sendiri dan terkadang
dapat didengar oleh orang di sampingnya. Di tengah-tengah dzikir itu, ia
seringkali menatapkan pandangannya ke langit. Dan ini kebiasaannya
hingga matahari naik dan waktu larangan shalat habis. Aku selama tinggal
di Damaskus selalu bersamanya siang dan malam. Ia sering mendekatkanku
padanya sehingga aku duduk di sebelahnya. Pada saat itu aku selalu
mendengar apa yang dibacanya dan dijadikannya sebagai dzikir. Aku
melihatnya membaca al-Fatihah, mengulang-ulanginya dan menghabiskan
seluruh waktu dengan membacanya, yakni mengulang-ulang al-Fatihah sejak
selesai shalat shubuh hingga matahari naik. Dalam hal itu aku merenung.
Mengapa ia hanya rutin membaca al-Fatihah, tidak yang lainnya? Akhirnya
aku tahu –wallahu a’lam–-, bahwa ia bermaksud menggabungkan antara
keterangan dalam hadits-hadits dan apa yang disebutkan para ulama; yaitu
apakah pada saat itu disunnahkan mendahulukan dzikir-dzikir yang datang
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam daripada membaca al-Qur’an, atau
sebaliknya? Beliau berpendapat, bahwa dalam membaca dan mengulang-ulang
al-Fatihah ini berarti menggabungkan antara kedua pendapat dan meraih
dua keutamaan. Ini termasuk bukti kekuatan kecerdasannya dan pandangan
hatinya yang jitu.”
Kesimpulan
dari riwayat ini, sehabis shalat shubuh Ibn Taimiyah berdzikir secara
berjamaah, dan berdoa secara berjamaah pula seperti layaknya warga
nahdliyyin. Pandangannya selalu diarahkan ke langit (yang ini tidak
dilakukan oleh warga nahdliyyin). Sehabis itu, ia membaca surah
al-Fatihah hingga matahari naik ke atas.
Tentu
saja apa yang dilakukan oleh Ibn Taimiyah ini murni bid’ah dari
dirinya. Ia menetapkan satu bacaan secara khusus, yaitu surah
al-Fatihah, tanpa ada dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dia
membacanya secara rutin pula setiap selesai shalat shubuh hingga
matahari naik tanpa ada nash dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.Toh,
walaupun apa yang dilakukan oleh Ibn Taimiyah ini tidak memiliki dalil,
kecuali hasil ijtihadnya sendiri, ia masih berhak mendapat pujian dari
muridnya, al-Imam Umar bin Ali al-Bazzar dan orang-orang Wahabi, bahwa
hal itu sebagai bukti kekuatan kecerdasan Ibn Taimiyah dan pandangan
hatinya yang jitu. Di sini kita bertanya-tanya, mengapa Ibn Taimiyah
selalu mendapat bonus pujian dari mereka, meskipun melakukan sesuatu
tanpa ada dasarnya secara khusus, sementara orang lain akan dikritik
bid’ah, syirik dan sesat, manakala rutin mengamalkan shalawat, tahlil,
maulid dan lain-lain. Wallahu a’lam.
WAHABI: “Maaf, saya ada keperluan mendadak.” Kabuuuuuuuuurrr.
Wallahu a’lam.
Wassalam
Muhammad Idrus Ramli
Tidak ada komentar:
Posting Komentar